Catatan Perjalanan OK. Saidin.
Selepas dari Vrij Universiteit, romobongan kami bergerak menuju Damrak. Rombongan ini adalah Delegasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) dipimpin oleh Dr. Mahmul Siregar selaku Dekan Fakultas Hukum USU beranggotakan Dr. Agusmidah Wakil Dekan I, Ketua Prodi Doctor Ilmu Hukum Prof. Dr. Ningrung Natasya Sirtait, Dr.T, Keizerinan Devi Azwar Sekretaris Prodi Doctor Ilmu Hukum, Prof. Dr. OK. Saidin Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum dan Sekretaris Prodi Ilmu Hukum Dr. Mahmud Mulyadi.
Tak sahnya rasanya kalau ke Belanda tidak menghabiskan waktu di Damrak. Lokasinya tak jauh dari stasiun Amsterdam Centraal. Dam Square adalah pusat keramaian kota Amsterdam. Berbagai turis asal luar negeri tampak berseliwiran. Toko souvenir khas Belanda berjejer di seputaran tempat itu.
Delegasi Fakultas Hukum USU inipun turut meramaikan Pusat Kota itu. Sebentar-sebentar kepala kami mendongak menyaksikan puncak bangunan Beurs van Berlage. Sebuah bangunan yang semula dirancang sebagai tempat pertukaran komoditi. Arsitek bangunan ini adalah Hendrik Petrus Berlage yang memulai pekerjaanya tahun 1896 dan selesai tahun 1903.
Bangunan ini banyak berpengaruh pada arsitek modern, khususnya untuk sekolah-sekolah Teknik Sipil di Amsterdam yang kemudian kita saksikan juga model bangunan ini terbawa ke Indonesia. Di Medan kita saksikan desain arsitektur yang mirip dengan arsitek bangunan Beurs van Berlage, seperti bangunan Kantor Pos dan Stasiun KeretaApi yang terlatak di Pusat Kota Medan.
Kini bangunan Beurs van Berlage itu digunakan sebagai tempat untuk pertunjukkan seni, pameran dan balai-balai pertemuan. Berbeda dengan di Medan, Kantor pos peninggalan Hindia Belanda itu sudah didesai menjadi restoran dan café.
Bangunan Beurs van Berlage tersusun dari bahan bata merah, dengan atap besi dan kaca, serta tiang batu, kayu sebagai penyangga bangunan. Pintu masuk ke Gedung itu berada di bawah 40 meter atau 130 kaki.
Di puncaknya ada Menara jam setinggi 40 meter sementara di dalamnya terdapat tiga ruangan rapat bertingkat yang dahulunya digunakan sebagai lantai bursa tempat berdagang. Tempat berkumpulnya para pejabat negeri, para pengusaha/pegang dan bahkan dengan rakyat jelata . Tak terbayangkan suasana masa itu. Orang-orang berbaur saling mempertukarkan komoditi.
Bangunan ini sebenarnya telah menyimpang dari konsep arsitek bangunan masa lalu yang lebih banyak mengedepankan ruang tertutup. Bangunan Beurs van Berlage lebih menekankan kehadiran ruang terbuka yang lebih luas, namun tampak luarnya masih memiliki kesamaan dengan gaya beberapa bangunan sebelumnya. Misalnya dengan bangunan stasiun St. Pancras karya H. H. Richardson di Amerika, atau Castell dels Tres Dragon, Barcelona karya arsitektur Lluis Domennech I Montaner.
Konsep dan artsitek bangunan Beurs van Berlage sesuai dengan kebutuhan transaksi perdagangan di awal abad kesembilan belas yang mulai terbuka luas menjangkau negara-negara tetangga. Bangunan ini juga telah menyatukan unsur seni berbentuk relief yang indah yang banyak kita saksikan pada bangunan-bangunan di Eropa pada awal abad ke 19.
Perkawinan Raja Willem Alexander dengan Maxima Zorreguieta yang dilangsungkan tanggal 2 Februari 2002 juga digelar di Beurs van Berlage. Selain ini Beurs van Berlage mempunyai sebuah kafe yang terletak di sebelah Beursplein dan menara ini juga terbuka untuk orang ramai.
Kami menyempatkan diri untuk berfoto di depan Gedung itu. Kamipun menikmati secangkir kopi late dan kroisan di salah satu café yang berjejer di seputaran Dam Square. Langkah kaki kami harus terhenti ketika melintasi antrian panjang di kios Maneken Pis, yang ternyata hanya menjual kentang goreng. Ya, hanya kentang goreng.
Di halaman Beurs van Berlage Delegasi Fakultas Hukum memanfaatkan peluang untuk foto bersama. Tak terasa matahari senja mulai menyelusup di balik Gedung dan tampak mulai memerah ketika mulai menyatu dengan air Sungai Amster. Sebuah pemadangan yang langka yang tak ditemui di Indonesia. Sekalipun malam mulai merangkak, toko-toko dan café mulai satu-satu ditutup, tapi masih banyak juga manusia yang dengan langkah cepat berseliweran. Tampaknya semua langkah kaki mengarah ke Stasiun Amsterdam Central.
Kamipun harus segera bergegas menuju hotel tempat kami menginap. Beberapa menit kemudian bus yang mengantar kami tadi pagi ke Vrij Universiteit sudah parker menunggu kami. Hanya dua menit, kami segera menaiki bus dan mobil meluncur melintasi jalan kota Amstserdam neuju Jalan Sloterweg 299 – 1171 VB Badhonevendorp. Masih di seputar Amsterdam. Hotel tempat kami menginap cukup sederhana, tapi harganya cukup berat juga untuk ukuran kocek orang Indonesia yang berprofesi sebagai dosen. Kami lupa bahwa dua hari ke depan adalah hari libur. Weekend, semua orang tumpah ruah mencari tempat penginapan. Akibatnya semua hotel fully booked di Amsterdaam. Kami bersyukur sempat mereservasi hotel lebih awal. Itupun baru dapat kami lakukan dua hari sebelum tiba di Amsterdam, karena visa untuk kunjungan kami ke Belanda baru kami terima satu hari sebelum keberangkatan.
Ada rasa was-was, apakah kami diberi izin untuk berangkat atau ditunda? Itu membuat kami tak memiliki keberanian untuk mereservasi hotel lebih awal. Apalagi biaya untuk reservasi hotel harus didahulukan dari kocek sendiri. Tapi akhirnya semuanya dapat teratasi, meskipun kami harus membayar sedikit lebih mahal.
Bus kami berhenti persis di depan tangga Hotel Ramada. Tak ada petugas hotel yang melayani untuk mengangkat barang-barang kami. Tak seperti di Indonesia. Kami harus menggeret barang-barang kami sendiri. Ini bukan karena Belanda kekurangan tenaga kerja, tapi memang tak ada kelaziman tamu hotel harus dilayani demikian.
Malam itu adalah kesempatan kami untuk menggantikan tidur yang terganggu selama 13 jam penerbangan Jakarta – Amsterdam. Kami harus menghemat energi untuk persiapan beberapa hari ke depan. Kebisingan Damrak Square menjadi nyanyian pengantar tidur kami pada hari pertama kunjunagan di Belanda malam ini. (Penulis: Prof. Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum adalah Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara)