Oleh: Milhan
Kemiskinan tak terlepaskan dari kehidupan manusia dan bahkan bisa menjadi masalah utama bagi beberapa negara yang menyebabkan terjadinya kekacauan (chaos). Banyak usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk membantu kaum miskin ini agar bisa hidup layak dan diharapkan juga status mereka bisa berubah dari fakir miskin menjadi orang berkemampuan ekonomi (kaya). Di Indonesia misalnya, Pemerintah telah menyalurkan berbagai macam bentuk bantuanseperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Sosial Tunai, Kartu Indonesia Pintar. Bahkan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang berlatar belakang berbagai agama banyak berperan untuk membantu kelompok faqir-miskin ini. Ajaran Islam telah melembagakan beberapa bentuk bantuan yang dianjurkan dan yang diwajibkan seperti infaq, sadaqah, hibah, wasiat, wakaf dan zakat.
Salah satu bentuk bantuan dalam Islam yang sangat potensial membantu masyarakat miskin adalah wakaf yaitu perbuatan hukum seseorang (waqif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Bentuk bantuan ini berdasarkan firman Allah yang menyatakan bahwa “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. Ali Imran [3]: 92). Pelaksanaan wakaf ini dimulai ketika ‘Umar bin Khattab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi s.a.w. untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah! Saya memperoleh tanah di Khaibar; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apa perintah Engkau (kepadaku) mengenainya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan hasilnya.” Setelah Umar bin Khattab mempraktikkan wakaf, kemudian menyusul sahabat-sahabat yang lain. Di antaranya; Abu Thalhah mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”, Abu Bakar mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah, Usman mewakafkan hartanya di Khaibar.Sejak masa itu banyak sahabat yang berwakaf dalam rangka untuk mencari ridho Allah dan objek wakafnya adalah benda yang tak bergerak seperti tanah, bangunan, sumur dan pohon.
Kemudian, Imam Hanafi melakukan ijtihad dengan membolehkan wakaf benda yang tidak bergerak seperti dinar dengan alasan karena banyak dilakukan masyarakat (istihsan bil ‘urf). Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf (adat kebiasaan) mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks). Dasar argumentasi mazhab Hanafi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, r.a:“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”. Ijtihad yang yang berwawasan ke depan ini telah menjadi trigger bagi umat yang hidup di zaman kontemporer ini untuk melakukan terobosan dengan memanfaatkan benda bergerak terutama uang sebagai objek wakaf. Namun, masih ada sebahagian umat Islam diantaranya di Indonesia yang meyakini bahwa wakaf uang itu tidak boleh. Keyakinan ini tak terlepas dari pandangan mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa wakaf uang tidak boleh karena dinar dan dirham akan lenyap ketika dibayarkan. Tetapi dengan munculnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 2002 tentang bolehnya wakaf uang dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang mengakomodir wakaf tunai seperti uang, logam mulia dan surat berharga, maka umat sudah mulai tertarik untuk melakukan wakaf uang.
Jika diamati, ada beberapa manfaat praktis dari wakaf tunai. Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi dari jumlah yang kecil sampai dengan jumlah yang besar sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas pun bisa berwakaf. Kedua, dengan adanya wakaf uang, aset-aset wakaf yang belum produktif berupa tanah kosong bisa dimanfaatkan dengan membangun gedung atau membuat lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan, rumah sakit dan panti sosial yang membutuhkan dana. (M Syafii Antonio) Dengan demikian, penggalangan wakaf tunai harus diintensifkan terutama oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) dalam rangka menggali potensi yang cukup besar.
Potensi nilai wakaf di Indonesia, terutama wakaf uang, diperhitungkan mencapai 180 triliun rupiah per tahun. Apabila potensi ini dapat digali secara maksimal maka akan diperoleh dana cash yang bisa diinvestasikan sebagai wakaf produktif dimana dana bagi hasilnya akan dapat membantu kaum dhu’afa apakah untuk biaya hidup atau untuk usaha mereka. Namun, realisasi perolehan berbanding jauh dari potensi karena menurut BWI perolehan wakaf uang per Maret 2022 sekitar 1,4 triliun rupiah. Sebenarnya perolehannya bisa lebih besar, jika diasumsikan 20 juta umat Islam mau menyerahkan wakaf uang sebesar 1 juta rupiah/tahun, maka akan diperoleh dana tunai sebesar 20 triliun/tahun. Dana sebesar ini akan menghasilkan dana bagi hasil yang besar jika diinvestasikan sehingga bisa membantu untuk mengentaskan kemiskinan secara gradual tahun pertahun. (Penulis adalah Alumni Pascasarjana UINSU dan dosen di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara)