FENOMENA COVID-19

Rabu, 8 September 2021 | 16:31 WIB

OLEH: OK. SADDAM SHAUQI (Staf Pengajar Fakultas Hukum USU)

Pandemi covid 19, tampaknya belum menunjukkan angka penurunan yang menggembirakan. Salah satu dampak yang masih dan akan terus berlangsung adalah terhadap keberadaan para pengusaha kecil dan menengah, termasuk pedagang asongan dan pedagang kaki lima. Café-café  dan rumah makanpun ikut terimbas. Ada yang tutup tapi ada juga yang mencoba  untuk bertahan. Yang bertahan jadi bulan-bulanan petugas Satgas covid dan para petugas pajak yang diberi kewenangan untuk itu. Padahal para pedagang jangankan mau membayar pajak, bisa bertahan saja sudah dianggap jeuh lebih dari cukup. Bertahan hidup agar karyawan masih tetap bisa bekerja, atau sekedar menjaga image di mata pelanggannya bahwa usahanya masih ada. Di sisi lain, di tengah pandemi covid berlangsung para petugas Covid 19 dibebani kewajiban untuk mengawal berbagai kebijakan pemerintah, agar penyebaran covid tidak meluas. Petugas pajak dibebani juga untuk memenuhi capaian target yang dibebankan oleh isntitusinya. Syukur-syukur kalau mereka bekerja sepenuh hati sesuai harapan pemerintah. Tapi kalau ada di antara  mereka yang bekerja lalu memanfaatkan situasi ini, maka ujung-ujungnya rakyat semakin menderita.

Tulisan ini ingin menggambarkan, betapa fenomena covid 19 ini tidak hanya menimbulkan dampak terhadap kesehatan ytapi menimbulkan banyak dampak sosial.

Kebijakan Pemerintah

Untuk mencegah penyebaran covid agar tidak meluas, pemerintah telah meneuh berbagai kebijakan. Mulai melaksanakan pencdegahan seperti mebncucui tangan, menjaga jarak, larangan berkerumun, memakai masker sampai pada melakukan vaksinasi. Kebijakan-kebijakan lanjutannya jika peneyebarannya semakin meluas Pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sesuai kondisi penyebarannya di masing-masing daerah, dengan penetapan sistem zonasi. Ada dzerah yang menerapkan kebijakan Pembastasan Sosial Berskala Besar PSBB), daerah zona merah akan diterapkan kebijakan yang lebih ketat. Waktu berkumpul dibatasi. Jumlahnya pun dibatasi. Jalan-jalan ditutup dan dialihkan. Maksudnya tidak lain agar penyebaran covid 19 tidak meluas. Untuk mengatasi goncangan ekonomi, baik pada usaha skala besar maupun skala kecil pemerintah juga menerapkan berbagai kebijakan dengan b erbagai regulasi. Aturan tentang kredir perbankanpun diperlonggar. Misalnya diberikan kelonggaran kepada nasabah untuk merestrukturisasi hutangnya dengan hanya membayar bunga pinjaman saja dan angsuran pokok sebesar 10 %. Tergantung kesepakatan.

Di awal merebaknya Covid – 19 di Indonesia dua tahun yang lalu, Pemerintah telah menitik beratkan prioritas penggunaan anggaran pada 3 (tiga) bidang  yakni : 1. Bidang Kesehatan Rp.75 Triliun, 2. Bidang Pelindungan Sosial Rp. 110 Trilun dan 3. Bidang Dunia Usaha Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional yang meliputi; Insentif Perpajakan dan Stimulus Kredit Usaha Rakyat Rp.70,1 Triliun dan Pembiayaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Rp.150 Triliun.

Menurut catatan Badan Pemeriksaan Keuangan RI, per 31 Desember 2020 total anggaran penanganan covid 19 sudah mencapai 1.035, 25 triliun rupiah (Rr. Ariyani Yakti Widyastuti, Tempo.co, 31 Desember 2020).  Untuk tahun 2021 sampai dengan bulan Juli setidaknya pemerintah sudah menyetujui anggaran sebesar 193,3 triliun rupiah termasuk untuk pengadaan vaksin (kemenkeu.go.id).  Banyak anggaran pembangunan yang dialihkan termasuk Dana Desa. Berbagai regulasi dikeluarkan pemerintah nuntuk mengamankan jalannya anggaran yang disediakan pemerintah, agar tidak diselewengkan dan tepat sasaran. Batuan-batuan kepada warga yang terkena dampak juga diberikan secara langsung dan tunai. Namun demikian tetap ada saja oknum-oknum dan pihak-pihak yang memanfaatkan keadaan itu. Mereka mencari keuntungan untuk diri sendiri baik  secara diam-diam maupun secara terang-terangan.

Fakta Lapangan

Seberapa baikpun sistem yang dibuat oleh pemerintah, tetap ada saja celah yang memberi ruang terhadap pihak-pihak yang ingin menyakahgunakan dan menfaatkan peluang itu. Kita saksikan pemberitaan setiap hari ada saja penyelewengan yang terjadi di berbagai tempat. Tidak hanya dalam skala kecil yang melibatkan Menteri, tapi juga dalam skala kecil yang melibatkan Bupati, Camat, sampai ke Kepala Lingkungan.

Lain lagi tentang tingkah laku para Tim Satgas Covid-19 bentukan Pemerintah Kota dan Kabupaten. Penelusuran penulis di beberapa tempat ada saja hal-hal yang menimbulkan keresahan dan kecemburuan masyarakat. Di beberapa tempat penerapan aturan PSBB mendapat protes dari kalangan masyarakat, khususnya para pedagang dan pengusaha restroran serta café. Mulai dari protes dengan nada lembut, sampai dengan ucapan  dan teriakan yang kasar. Sulit untuk mencari kesalahan sesulit juga untuk mencari alasan pembenarannya. Beberapa café dan restoran beroperasi normal seperti tidak ada PSBB, tapi di tempat lain di batasi. Beberapa minggu yang lalu penulis menyaksikan bagaimana café ditutup di kawasan jalan Setia Budi. Anehnya pengunjung café jumlahnya hanya beberapa orang saja, tapi petugas yang membubarkannya lebih dari 20 orang. Alasannya café itu menciptakan kerumunan, tapi justeru petugas yang datang tampak berkerumun.

Tak lagi diterapkan prinsip kesamaan di hadapan hukum.  Di mana setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Maka setiap aparat penegak hukum terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik. Namun menegakkan equality before the law bukan sesuatu yang mudah untuk diterapkan. Hambatan tetap saja ada. Ini karena faktor kesiapan aoarat poenegak hukum dan juga faktor budaya hukum masyarakat. Untuk keberhasila PPKM ini, memanglah dituntut ketegasan pemerintah. Akan tetapi contoh yang baik juga harus diperlihatkan petugas kepada masyarakat.

Apapun yang akan di lakukan pemerintah, ini tak akan berhasil apabila tidak mendapat dukungan dari masyarakat. Sekali saja aparat penegak hukum atau Satgas Covid gagal menunjukkan atau mencontohkan hal-hal yang  tidak baik maka sulit kita untuk menciptakan kepatuhan, ketaatan, bahkan masyarakat bisa meremehkan para pemerintah. Perlu ada formula unmtuk  menciptakan disiplin masyarakat untuk perang melawan covid ini. Pemerintah dan kita semua harus meyakinkan masyarakat bahwa Covid – 19 ini adalah musuh bersama masyarakat. Masyarakat menjadi pelaku juga sekaligus korban dalam hal ini, sehingga Pemerintah dan rakayat harus bahu membahu memeranginya. Jangan ada yang menarik keuntungan pribadi dalam kebijakan apapun terkait penanganan Covid-19.

Jangan ciptakan rasa ketidak adilan. Penerapan peraturana jangan tebang pilih. Hilangkan  prasangka dana covid di korupsi, di salah gunakan. Jika itu sudah terjadi maka tegakkan hukumj secara adil. Masih banyak lagi dana untuk penanggulangan Covid yang dijalankan sesuai aturan. Masih banyak aparatur Negara yang jujur dan setia menjalankan amanahnya. Jangan karena sesuatu yang kecil kita kehilangan harapan yang lebih besar, yakni untuk mnemebebaskan In donesia dari wabah covid 19.   Jangan juga ada yang menganggap covid ini adalah sebuah konspirasi, atau dianggap sebagai bisnis.  Atau ketidak patuhan masyarakat karena keluar rumah karena mencari nafkah, mau tidak mau, bisa gak bisa harus bekerja, untuk menghidupi keluarga. Inilah yang yang harus di list oleh pemerintah, sehingga dapat di hilangkan di eliminasi dengan solusi solusi yang langsung berdampak kepada masyarakat yang terimbas langsung karena pandemi ini.

Pemerintaha jangan disibukkan oleh tetek bengek urusan yang kecil-kecil, apalagi sekedar “mengobyek” dan menakut-nakuti para pengusaha kecil. Peristiwa yang terjadi di kawasan Sei Serayu Medan. Café yang baru dibuka lima bulan lalu, dibuka tengah pandemi covid 19 mewabah, didatangani petugas yang meminta pembayaran pajak restoran segera disetorkan. Padahal café ini dibuka dalam rangka mengalihkan tenaga kerja yang terkena dampak di sektor usaha perhotelan. Hari-hari setelah perberlakukan PSBB café mengalami defisit. Petugas seolah tak mau tahu sistuasi yang sedang dihadapi oleh anak muda yang baru memulai usaha untuk mendorong ekonomi kreatif. Di sinilah diperlukan sebuah ke’arifan. Hendaknya ada dispensasi terhadap usaha-usaha yang mencoba untuk menggerakkan roda perekonomian masyarakat. Dispensasi itu dituangkan dalam kebijakan, dtuangkan dalam peraturan pemerintah setempat, agar itu tidak dimanfaatkan oleh oetugas yang nakal.

Lain lagi, ketika seorang pengusaha yang pada awal tahun covid mewabah, Bank merestrukturisasi kreditnya hanya dikenakan pembayaran bunga dan pokok sebesar 10 %. Tahun berikutnya wabah belum usai Bank dengan serta merta tanpa tawar menawar langsung membebani kreditur dengan pembayaran normal, tapi tidak hanya bunga dan pokok seperti sebelum covid mewabah justeru ditambahkan tunggakan pokok selama setahun yang belum dibayarkan sebesar 90 % lagi. Tentu saja kreditur kaget bukan kepalang. Namun sekali lagi Bank di bawah naungan BUMN ini tak bergeming, ia meneruskan kebijakannya. Keadaan sulit seperti sekarang ini tidak lagi dijadikan pertimbangan, tapi justeru disalahgunakan. Semula dimaksdukan untuk meringankan beban nasabah, tapi justeru sebaliknya menimbulkan beban berat yang baru di kemudian hari. Inilah kebijakan setengah hati. Kebijakan yang mendua dan tak pernah tuntas.

Penutup

Inilah ironi yang dihadapi bangsa ini. Di satu sisi ingin menghentikan penyebaran covid 19, agar rakyat tetap sehat dan sejahtera. Di sisi lain rakyat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi mendapat tekanan dari berbagai pihak. Belum ada model penyelesaian yang menyeluruh, tuntas sampai ke akar persoalannya. Tantangan bangsa ini ke depan adalah bagaimana menyatukan visi dan misi untuk menangani berbagai persoalan besar yang dihadapi bangsa. Bangsa ini perlu sapu yang bersih untuk menyapu kotoran. Jangan gunakan penyapu yang kotor untuk membersihkan lantai, karena itu akan menjadi perbuatan yang sia-sia. **