Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Singapura dan lain-lain juga tetap menggelar Pemilu di era pandemi ini. Ia mengusulkan jika nanti ada TPS yang berpotensi menjadi klaster baru pandemi, maka bisa dilakukan dengan mendatangi rumah-rumah warga. “Pola apapun harus dilakukan demi partisipasi pemilih,” tutur Jazilul Fawaid.
Sedangkan Afifuddin mengakui jika banyak pelanggaran dalam proses kampanye pilkada sekarang ini, terlebih masyarakat menganggap kampanye tatap muka masih menjadi primadona. Ribuan surat peringatan sudah disampaikan sampai pembubaran kampanye, namun kata dia, Bawaslu tak memiliki kewenangan untuk mendiskualifikasi. “Bawaslu hanya bisa memperingatkan. Tapi, jika ada kerumunan tak terkait pilkada, itu urusannya satpol PP dan aparat kepolisian,” tuturnya.
Sementara itu Nurul Amalia mengatakan menjelang 17 hari pilkada ini politik uang atau money politics meningkat di tengah melemahnya ekonomi, banyak pelanggaran netralitas ASN oleh Sekda setempat, intimidasi, iklan di media sosial di luar kontrol, rekrutmen KPPS yang kurang, kurangnya akses informasi bagi pemilih sehingga 43 persen pemilih tidak tahu jejak rekam calon, dan masih adanya keraguan masyarakat datang ke TPS.
“Kami merekomendasikan komitmen partai, KPU, dan Bawaslu untuk patuh pada protokol kesehatan, kampanye sesuai peraturan yang berlaku. Sebab, pilkada di era pandemi ini bukan saja menjadi tanggungjawab penyelenggara, tapi juga masyarakat pemilih,” tutur Nurul Amalia.