Jakarta, MPOL: Pembuatan Undang-undang harus betul-betul cermat demikian anggota Badan Legislasi DPR RI Firman Subagyo mengatakan dalam Forum Legislasi dengan tema: Menakar Ketercapaian Target RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2023, bersama peneliti Formappi Lucius Karus, Selasa (7/2) di DPR RI Jakarta.
Menurut Firman Subagyo pembuatan undang-undang ini sekali lagi harus betul-betul cermat, melihat daripada kebutuhan di masyarakat dan bisa memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara yang harus kita lindungi.
Kira-kira itu prinsipnya, Jadi bukan karena berapa persentase yang bisa disajikan tetapi sampai seberapa jauh kualitas undang-undang itu bisa diimplementasikan. Apa yang menjadi kendala di setiap pembahasan, apakah ada SOP atau standar dari kualitas undang-undang itu sendiri sehingga RUU itu menjadi molor waktunya,
Anggota DPR dari fraksi Partai Gilkar menanggapi bahwa pertama memang masalah kemoloran waktu ini menjadi perhatian kami serius, karena di dalam regulasi kita di undang-undang 12 tahun 2011 yang sudah di revisi,, itukan ada batasan-batasan waktu, kalau dulu dua masa sidang, sekarang kita rubah menjadi tiga masa sidang, tapi faktanya kan kadang-kadang ada undang-undang yang sampai 10 kali perpanjangan enggak selesai, ini kan membuang energi, membuang waktu.
Oleh karena itu harusnya kendala-kendala seperti ini bisa diatasi, kalau memang kita konsisten dengan regulasi yang ada yang kita buat, begitu tiga kali masa sidang dan itu tidak bisa dilanjutkan, ya udah berhenti, harusnya begitu, kita bikin ulang lagi, tapi ini kan perpanjang terus dan akhirnya banyak waktu kita yang tersita.
Tentang problem yang terkait dengan masalah molornya, undang-undang Itu kan yang berkaitan dengan masalah pembahasan kan dibahas oleh DPR bersama pemerintah, kemudian ketika kita membahas itu ada satu norma atau pasal yang kira-kira tidak sejalan antara pemerintah dengan DPR biasanya deadlock dan kemudian di internal DPR sendiri kan ada yang namanya 9 fraksi, ketika kadang-kadang fraksi kepentingan politiknya berbeda, maka itu menjadi sesuatu yang menghambat dan proses.
Oleh karena itu kami menegaskan bahwa ketika undang-undang sudah dibahas dengan pemerintah maka sikap DPR itu satu, bukan ada sikap lagi fraksi, sikapnya adalah sikap DPR dengan sikap pemerintah, nah ini yang masih tidak dipahami oleh para anggota dewan terutama yang baru-baru bahwa ketika kita sudah masuk pada tahap pembahasan, itu DIM itu hanya dua, keputusan MK juga seperti itu DIM itu hanya ada dua, DIM pemerintah dan DIM daripada DPR.
Kalau inisiatif dari pemerintah maka DPR punya DIM, DIM itu dikompilasi dari seluruh fraksi yang ada dikompilasi oleh badan legislasi, dijadikan atau dikompilasi alat kelengkapan dewan menjadi satu DIM, yang namanya DIM DPR, tutur Firman Subagyo.
Sedangkan Lucius Karus mengatakan pernyataan bapak Firman tadi, pernyataan yang sama juga seing kita dengar, bukan kuantitas yang yang dilihat oleh DPR tetapi kualitas Padahal dua-duanya juga bermasalah kalau kita dengar selama ini
Di kualitas misalnya perdebatan soal partisipasi publik, sampai MK juga ikut terlibat menjadikan itu sebagai pertimbangan untuk memutuskan undang-undang cipta lerja bermasalah, saya kira sih itu pengakuan resmi saja, bahwa ada soal juga terkait dengan kualitas.
Soal kuantitas kenapa itu jadi patokan sekurang-kurangnya kami dalam melakukan evaluasi terhadap kinerja DPR, karena dalam program legislasi nasional itu memang keluar jumlah yang paling penting yang diumumkan di sana berapa, berapa Prolegnas 2020-2024, dari 248 sekarang sudah berkembang jadi 259, itu yang saya lihat di website DPR.
Jadi kalau 32 rasanya sih DPR sudah semakin realistis saya kira sesuai dengan apa yang selama ini jadi salah satu rekomendasi Formappi agar prolegnas prioritas itu tidak usah bombastis gitulah jumlahnya, pas-pasan aja, yang pas-pasan aja belum belum tentu bisa dikejar, apalagi kalau jumlahnya semakin banyak, tutur Lucius Karus.***