Jakarta, MPOL: Kita harus menata ulang politik hukum terkait dengan pemidana demikian Anggota Komisi III Asrul Sani mengatakan dalam anggota Komisi III DPR Nasir Djamil (F-PKS) dan Pakar Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad, “Menakar Urgensi RUU Perampasan Aset,” Selasa (20/9) di DPR RI Jakarta.
Menurut Asrul Sani untuk menjadi pemahaman kita semua, bahwa ketika kita bicara RUU Perampasan aset, maka ini bukan hanya untuk tindak pidana korupsi saja, itu dulu yang harus diketahui. Makanya namanya RUU Perampasan aset tindak pidana, jadi selain tipikor ini juga bisa dikenakan untuk tindak pidana yang lain, yang itu terutama membawa kerugian kepada negara, meskipun bukan karena korupsi.
Contoh, Tindak Pidana Narkotika, itukan membawa krugian kepada negara karena negara kan terpaksa kemudian harus ya melakukan rehabilitasi dan kemudian menyembuhkan para pengguna narkotika. Kemudian Tindak pidana penyelundupan, itu kan juga merugikan negara karena apa, karena harusnya ada bea masuk, ada pajak impor yang dibayar, itu tidak.
Jadi pertama jangan kemudian seolah-olah dikaitkan bahwa RUU perampasan aset tindak pidana ini hanya terkait dengan Tipikor yang Karena itulah kemudian timbul resistensi, karena bagi para penyelenggara negara, termasuk anggota DPR, karena jangan-jangan nanti asetnya di rampas, tidak-tidak seperti itu.
Kedua hemat saya ini perlu disampaikan juga kepada pemerintah, RUU rampasan aset ini masuk ke dalam prolegnas 5 tahunan, tadi sudah disebut oleh Pak Nasir Jamil namun belum didorong masuk ke dalam prolegnas tahunan, terutama Tahun 2022, ini sebagai RUU inisiatif pemerintah, tutur Arsul Sani.
Sedangkan Nasir Djamil mengatakan soal rancangan undang-undang perampasan aset, Penegak hukum ingin merampas aset-aset yang diduga yang dilakukan oleh para koruptor, selama ini ada kesulitan walaupun ada instrumen hukum yang telah menjadikannya sebagai alas hukum, ada kesulitan-kesulitan dan itu kemudian juga diikuti dengan putusan pengadilan, jadi harus ada putusan pengadilan yang mengikat, sehingga kemudian aset-aset yang diduga dijarah oleh koruptor itu bisa dirampas oleh negara.
Saat ini memang rancangan undang-undang ini belum masuk dalam program legislasi nasional mereka Tahun 2022 tentu saja sepertinya pemerintah juga gamang pemerintah juga gamang, masih setengah hati, kalau pemerintah serius pasti dia lobby sana-lobby sini, agar rancang undang-undang ini bisa masuk dalam prolegnas tahun 2022.
Dalam arti menjadi prioritas di Tahun 2022, kalau dalam prolegnas 5 tahun dia masuk, tapi dalam program dalam prolegnas Tahun 2022 dia belum masuk. Pertanyaannya kenapa belum masuk, padahal ini adalah inisiatif dari pemerintah, itu artinya juga kan pemerintah sepertinya panas-panas tahi ayam kira-kira begitu atau ya rata-rata air lah. Jadi sepertinya pemerintah juga tidak serius, untuk memasukkan ini, apakah ada halangan dari DPR karena memang prolegnas itu adalah kesepakatan antara DPR dengan pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh kementerian Hukum dan Ham.
Patut kita pertanyakan juga kesungguhan pemerintah untuk memasukkan ini dalam program legislasi nasional prioritas Tahun 2022 Jangan nanti disalahkan DPR lagi, seolah-olah DPR tidak punya sains ya terkait bagaimana upaya kita untuk merampas, aset-aset yang di ambil tanpa benar atau secara gelap oleh koruptor tersebut. Sayangnya memang yang mewakili pemerintah tidak ada di sini, tutur Nasir Djamil.
Sementara itu Suparji Ahmad mengatakan berangkat dari satu pola pikir fakta, masalah dan solusi, maka sekarang ini ada satu fakta, pemerintah mendorong-dorong untuk adanya segera pembahasan RUU perampasan aset. Permasalahannya adalah bagaimana urgensi dan bagaimana merealisasikannya?
Kalau kita bicara tentang urgensi tentunya tiga sudut pandang kita lihat, filosofis sosiologis dan yuridisnya.
Dari sisi Filosofis saya kira sudah sangat jelas, bahwa ada pergeseran dalam proses penegakan hukum, di mana tidak sekedar mengejar pelaku kejahatan, tetapi juga hasil dari kejahatan itu, jadi penegakan hukum tidak akan dikatakan berhasil, kalau sekiranya itu hanya sekedar menghukum saja, pada sisi yang lain adalah bahwa, secara filosofis juga bahwa hasil kejahatan tidak boleh dinikmati oleh siapapun, oleh karenanya itu harus dirampas oleh negara, ada satu keputusan yang menarik misalnya, di Inggris pada waktu itu ada seorang istri meracuni seorang suaminya, meninggal kemudian pengacaranya banding, bandingnya bukan persoalan minta keringanan hukumannya, tetapi adalah minta aset-aset dari suaminya itu dimiliki oleh sang istri, oleh pengadilan itu ditolak, mengingat bahwa ini adalah pelaku kejahatan, oleh karenanya pelaku kejahatan tidak boleh menikmati.
Kalau kita Tinjau secara Yuridis instrumen-instrumen hukum yang ada sekarang ini, apakah KUHP, undang-undang tindak pidana korupsi, undang-undang TPPU, itu belum sepenuhnya kemudian mampu merampas aset itu, mengingat harus ada misalnya, bicara tentang korupsi ada unsur kerugian negara, bicara tentang TPPU harus bicara tentang predikat lainnya, kalau bicara tentang KUHP ditempatkan sebagai suatu Pidana tambahan. Jadi secara yuridis, memang ada alasan yang cukup urgen untuk dibahasnya RUU perampasan aset ini, tutur Suparji Ahmad.