Ketua MPR RI Luncurkan Buku “PPHN Tanpa Amandemen”

Selasa, 21 Maret 2023 | 20:50 WIB

Jakarta, MPOL: Ketua MPR RI luncurkan buku “PPHN Tanpa Amandemen” di kampus Universitas Terbuka Selasa (21/3) Jakarta.

Buku Bamsoet ke-30 ini ditulis berdasarkan disertasi “Peranan dan Bentuk Hukum Pokok-Pokok Haluan Negara sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Pembangunan Berkesinambungan dalam Menghadapi Industri 5.0 dan Indonesia Emas”. Dengan tema disertasi ini, Bamsoet meraih predikat yudisial Cumlaude dengan IPK 4.0 pada Sidang Terbuka Promosi Gelar Doktor Bidang Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran di Bandung, pada Sabtu 28 Januari 2023.

Menurut Bamsoet Aaa yang disampaikan presiden barang kali sudah mewakili kita semua, bahwa apa yang kita adalah bangsa yang besar, kita juga ingin menjadi bangsa yang lebih besar lagi setelah hari ini.

Kita punya mimpi pindah ibukota ke ibukota Nusantara , pertanyaannya kemudian adalah apakah bisa kita wujudkan tanpa kita memiliki suatu perjalanan jangka panjang yang mengikat dari satu periode pemerintahan yang satu dengan pemerintahan berikutnya dan diikat dengan suatu aturan, payung hukum yang lebih tinggi daripada undang-undang, kenapa karena kita tahu kalau undang-undang selain mudah direvisi, juga mudah direview dan perpu oleh presiden presiden berikutnya.

Apakah ada jaminan, apa yang sedang dirancang oleh presiden hari ini diteruskan oleh presiden pengganti nanti belum tentu. Jangankan satu partai, yang beda partai aja apalagi, bisa lain barang itu. Nah inilah yang saya maksud pentingnya kita menghadirkan kembali pokok-pokok negara.

Sebagaimana kita memiliki dulu seperti GBHN yang telah menjadikan kita kesinambungan pembangunan dari waktu kewaktu dari masa ke masa tanpa ada satu senpun dana masyarakat yang dikumpul oleh dana APBN menjadi mangkrak atau menjadi sia-sia.

Hanya dalam kurun waktu kurang lebih 22 tahun dari sekarang pada saatnya nanti kita akan dihadapkan pada sebuah fakta, apakah visi yang kita kontruksikan dalam memori kolektif kita hanya sebatas Utopia ataukah sebaiknya atau sebaliknya, mimpi-mimpi itu bisa kita wujudkan menjadi realita.

Tanpa PPHN tanpa jangka panjang yang kita harapkan bersama dengan diikat dengan payung hukum yang lebih tinggi, Saya tidak yakin kita memiliki kesinambungan pembangunan di masa-masa yang akan datang. Kemudian saya ingin menegaskan satu hal bahwa satu-satunya yang dapat transformasikan visi misi menjadi realita adalah diri kita sendiri, namun mewujudkan visi besar tidak dapat diraih dengan cara instan dan serta merta.

Pembangunan membutuhkan rangkaian proses berkesinambungan yang memerlukan rujukan pedoman dan strategi perencanaan yang matang, itulah maksud daripada pentingnya kita menghadirkan kembali pokok-pokok haluan negara dalam bangsa kita ini. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara kita menghadirkan PPHN sementara MPR tidak lagi memiliki kewenangan mengeluarkan TAP MPR dan tidak lagi diberikan kewenangan untuk menyusun GBHN hasil amandemen yang ke-4.

Setelah saya melakukan penelitian ternyata ada peluang yang paling memungkinkan di samping kita bikin
konvensi nasional berdasarkan konsensus seluruh lembaga tinggi negara ada peluang kita melakukan yudisial review, merubah undang-undang nomor 12 khususnya di pasal yang mengatur Hilarki perundang-undangan lalu kemudian ada penjelasannya dipasal 17 ayat 1.

Jadi kalau kemudian atas penjelasan pasal 17 dihapus, sehingga hierarki peraturan perundang-undangan tertinggi adalah undang-undang dasar yang kedua adalah tap MPR undang-undang/perpu lalu turunan berikut ke bawah. Diurutan yang kedua TAPMPR ada pasal ada penjelasan di bawahnya TAP MPR yang dimaksud adalah tap tap yang sudah ada nah jadi kalau penjelasan ini yang membatasi norma atau pasal 17 undang-undang nomor 12 itu dihapus, maka hidup lagi barang itu.

Jadi MPR kembali memiliki kewenangan untuk melakukan penetapan MPR yang sifatnya regeling. Kita hari ini masih memiliki kewenangan menggunakan tap MPR namun sifatnya besiking atau penetapan bukan pengaturan. Yang kita inginkan adalah mengembalikan kewenangan MPR mengeluarkan tap yang sifatnya regeling.

Saya kira inti daripada kita bisa mewujudkan kembali PPHN dalam payung hukum yang lebih tinggi dari undang-undang pintu masuknya di situ agar kita tidak melalui jalan amandemen yang sampai hari ini pasti rumit dan pasti ramai karena berbagai kepentingan akan masuk ke sana dan noisenya luar biasa, tutur Bamsoet.

Sementara itu arti PPHN bisa dihadirkan tanpa perlu khawatir bakal membuka kotak pandora, yang bisa memantik terjadinya amendemen pasal-pasal lain dalam konstitusi, utamanya terkait perpanjangan masa jabatan presiden yang selalu menyulut gaduh politik.

Dilandasi kehendak baik, GBHN dengan nomenklatur PPHN bisa dihadirkan tanpa amendemen pasal-pasal tertentu UUD NRI Tahun 1945. Gagasannya adalah merekonstruksi GBHN menjadi PPHN tanpa amendemen. Ini merupakan novelti atau temuan baru dari penelitian selama berbulan-bulan yang dilakukan Bamsoet untuk bahan disertasinya.

Merekonstruksi GBHN menjadi PPHN bisa dilakukan berlandaskan pada konvensi ketatanegaraan sebagai sumber hukum pelaksanaan dan pembuatan PPHN, dengan menyesuaikan beberapa peraturan perundang-undangan. Dan menjadi lebih afdal lagi jika penjelasan pasal 7 ayat 1 huruf b pada UU Nomor 12 tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 ditiadakan atau dihapus, sehingga kekuatan Tap MPR yang bersifat regeling atau pengaturan, hidup kembali.

Diperlukan konsensus nasional untuk menyelenggarakan konvensi ketatanegaraan yang melibatkan delapan lembaga tinggi negara, termasuk lembaga kepresidenan. Jika sepakat melakukan konvensi, perlu dibentuk dan disusun substansinya. Konvensi ini kemudian dikuatkan dengan Tap MPR. Saat ini MPR masih memiliki kewenangan Tap MPR yang sifatnya keputusan (beschikking). Tetapi akan lebih kuat lagi kalau MPR bisa memiliki Tap MPR yang sifatnya regeling, yakni dengan cara melakukan judicial review terhadap penghapusan penjelasan pada pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).

Atau cara lain untuk mempertegas status hukum Tap MPR adalah dengan cara melakukan desain ulang konstitusi Indonesia. Sudah menjadi rahasia publik bahwa proses amandemen konstitusi Indonesia dalam rentang 1999-2002 sedikit terburu- buru dan masih menyimpan sejumlah persoalan yang layak untuk diperdebatkan. Termasuk adanya penjelasan atas pasal dalam suatu undang-undang yang membatasi norma, tutur Bamsoet. ***