Jakarta, MPOL: Kemenkes agar memberikan perawatan terbaik serta mengcover biaya perawatan pasien gagal ginjal, demikian Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufodayanti dalam Dialektika Demokrasi “Kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak Muncul Lagi” bersama dr M Syahril (Juru Bicara Kemenkes) dan Dr Hermawan Saputra (Dewan Pakar IAKMI) Kamis (9/2) di DPR RI Jakarta.
Menurut Kurniasih Mufidaynti ada beberapa hal yang kami catat bersama dan kami simpulkan bersama dalam rapat itu, untuk Kemenkes itu kita mendesak supaya apa memberikan perawatan terbaik dan juga mengcover seluruh biaya perawatan dari pasien gagal ginjal akut pada anak dan juga memberikan perawatan terbaik sampai kesembuhan kita juga memastikan seperti itu.
Kedua kita meminta kepada Kemenkes untuk memberikan santunan tentu saja sesuai dengan peraturan perundangan karena ranah santunan ini Pagunya bukan di kemenkes tetapi ada di kementerian lain tetapi kami minta di koordinasikan di bawah Kemenkes artinya sesuai dengan peraturan perundangan dan ini sebenarnya harusnya bisa dilakukan, yaitu pemberian santunan kepada keluarga korban yang meninggal.
Kami mendesak kepada Kemenkes untuk melakukan tindakan mitigasi untuk supaya kejadian tidak diinginkan ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang, karena pada saat itu diskusinya sangat panjang, kami dari kondisi sembilan meminta status KLB, tetapi diskusi sangat panjang pada saat itu dan akhirnya pada saat itu dikatakan sebagai kejadian yang tidak diinginkan dan kita meminta dalam kesimpulan itu kita masukkan untuk tidak terjadi lagi.
Mitigasi yang diharapkan oleh kita itu Alhamdulillah sudah tertuang di surat surat kementerian, dikeluarkan peraturan Menteri peraturan Menteri kesehatan republik Indonesia nomor 19 tahun 2016 tentang sistem penanggulangan gawat darurat terpadu dan juga dikeluarkan khusus kalau enggak salah itu, terkait dengan tatalaksana dan manajemen klinis gangguan ginjal akut progresif, aktifikal dan juga pada anak di fasilitas pelayanan kesehatan ini keputusan direktur jenderal pelayanan kesehatan sudah dikeluarkan untuk SOP-SOP-nya seperti apa, itu memang itu produk setelah kita meminta adanya mitigasi yang harus dilakukan dan juga antisifasi dimasa yang akan datang.
Untuk realisasi terhadap keputusan ataupun kesimpulan rapat di Kemenkes, itu sudah di tindaklanjuti tadi berupa mitigasi apa SOP ataupun tatalaksana penanganan gagal ginjal akut pada anak dan mungkin ini yang perlu diintensifkan lagi dan dimasifkan lagi sosialisasinya. Bahwa kalau ada keluarga, anak sakit itu agar tidak buru-buru mengkonsumsi obat, tapi di apa namanya digunakan atau dipakai kompres ya kalau nggak salah dan segera ke yankes terdekat supaya mendapatkan penanganan dan obat-obatan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Untuk BPOM kami juga memberikan catatan dan menyepakati bersama pada rapat bulan November saat itu, bahwa untuk BPOM kami meminta BPOM bertanggung jawab, karena wewenang untuk memberikan izin edar dan juga untuk pengawasan Ini adanya di BPOM, jadi kalau tadi Pak dokter Syahril menceritakan ada surat edaran itu kita apresiasi, karena buru-buru dikeluarkan untuk meredam dulu, meng hold dulu obat-obat itu tidak digunakan oleh semua dokter ataupun tidak dikonsumsi, yang harusnya itu dikeluarkan oleh BPOM.
Saya sangat berharap sekali pada situasi seperti ini, keterbukaan komunikasi dan informasi dari BPOM harus lebih ditingkatkan keterbukaan, Ini kan udah era keterbukaan, kita juga punya punya ketentuan peraturan perundangan tentang keterbukaan informasi, kalau memang perlu diabarkan dan supaya tidak menimbulkan keresahan kepada masyarakat, nah prinsipnya komisi IX meminta negara hadir dong hadir untuk bisa memberikan perlindungan terhadap 270 juta rakyat Indonesia, tutur Kurniasih Mufidayanti.
Sedangkan Dr Syahril mengatakan penyebab gagal ginjal itu sebetulnya banyak,
pertama adalah infeksi, yang kedua karena kekurangan cairan melalui penyakit muntaber, bisa muntah bisa diare dan yang ketiga adalah karena perdarahan, biasa saja orang jatuh atau luka darahnya habis, sehingga dia tidak bisa melakukan metabolisme tadi sehingga menyebabkan gagal ginjal dan yang terakhir adalah keracunan.
Beberapa pendapat pada saat itu kenapa kok lambat di dalam penanganan, sebenarnya bukan lambat ya tapi kita menyingkirkan tadi, kita coba dulu infeksi kan pada saat itu kan lagi covid, ternyata bukan covid, dari infeksi yang lain ternyata bukan, kemudian seterusnya dan seterusnya, akhirnya para ahli yang kita bentuk tim mempunyai kesimpulan dan ternyata dihubungkan dengan minum obat sirup, itu kan pengalaman ya apalagi dihubungkan dengan kasus Gambia di India ternyata betul obat yang diminum anak anak di Gambia yang meninggal mengandung mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG), sehingga dikonfirmasikan pas.
Saat itu dengan gerakan cepat kita mengumumkan hitungan cuman 3 minggu, kita menyetop melarang peredaran obat seluruh sirup, saya ingat tanggal 18 Oktober karena saya diminta apa menteri untuk mengumumkan, demi untuk menyelamatkan semuanya kita stop itu dan terus diselidiki. Secara bertahap kan tidak semua sirup itu mengandung mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG), jadi sebagai pemahaman saja etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) itu adalah suatu zat sebetulnya itu bukan untuk industri obat tapi industri yang lain, untuk buat cat,untuk buat apa dinding mobil dan sebagainya, nah itu lagi selidiki, kenapa kok sampai bisa masuk ke obat yang menyebabkan keracunan.
Setelah disetop itu, ya kemudian kita juga langsung mendatangkan obat antidotun namanya saat itu ya dari Singapura, maka dengan cepat memang langsung drastis penurunan, jadi kasus menurun, kematian juga menurun dan seterusnya. Serentak dengan itu BPOM sebagai badan yang melakukan pengawasan melakukan juga penelitian, obat-obat semua yang dilarang tadi dilakukan kembali, di cek dan makanya diumumkan secara bertahap dan terakhir sebanyak 508, tutur Syahril.
Sementara itu Hermawan Saputra mengatakan sebetulnya ini adalah satu kasus yang secara kronologis memang sudah di testimoni, kan kejadian di 23 januari , kemudian ada gannguan kesehatan di 25 januari dan 28 januari, kira-kira cepat sekali. Tetapi oleh keluarga pasien ini memang dia hanya menkonsumsi Praxion ini dalam riwayat balita atau anak usia 13 bulan ya, yang dinyatakan gagal di ginjal dan akhirnya meninggal dunia.
Oleh karena itu andai tidak ada kepastian ini, coba kita bayangkan psikologi publik, ya jangan-jangan merek obat yang lain mungkin dari produsen atau distributor yang lain berpotensi muncul lagi kasus, artinya tidak ada kenyamanan, padahal ini menyangkut nyawa, kata bahasa di media itu kan antara obat dan racun itu beda-beda tipis, tepat dosis, tepat waktu, tepat diagnosis dan pemberian, maka dia menjadi obat, tetapi dia melenceng terjadi bias dan juga berbeda kadar menjadi racun dan ini kan cukup berbahaya.
Oleh karena itu kita ingin ada semacam upaya yang sungguh-sungguh, tidak hanya pemerintah tentu saja karena kita sekarang hadir di ruang parlemen, maka kita juga *berharap atas nama rakyat, wakil rakyat dan parlemen juga menyuruh ini secara serius, agar kedepannya tidak terulang, baik dari aspek regulasi dan pengawas oleh lembaga yang berwenang mengawas sampai kepada pola hidup oleh masyarakat di mana buat kami untuk terus juga memberikan promosi, edukasi dan bagaimana cara untuk melakukan suamediksi, saya ingin mengatakan bahwa kita masyarakat, individu dan terutama ibu-ibu yang memiliki anak bayi balita sekarang ini, cenderung melakukan suamedikasi.
Ini adalah pengobatan yang memang atas pengetahuan terbatasnya melakukan dan memberikan obat pada anak, padahal belum tentu langsung dikonsultasikan dengan dokter, jadi karena kebiasaan kita selama pandemi covid, menumpuk makanan, menumpuk material dan kebutuhan rumah tangga, termasuk menumpuk obat-obatan sehingga kadang ada irasional consumtion, wilayah ini adalah wilayah edukasi kita juga bersama kementerian kesehatan, tutur Hermawan.***