China Klaim Laut Natuna, TNI Siaga Tempur

Jumat, 3 Januari 2020 | 22:23 WIB

Jakarta – Pemerintah Indonesia menegaskan China telah melakukan pelanggaran batas wilayah di Laut Natuna. TNI pun melaksanakan operasi siaga tempur terkait dengan adanya pelanggaran di kawasan tersebut.
Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I Laksdya Yudo Margono, mengatakan operasi siaga tempur dilaksanakan oleh Koarmada 1 dan Koopsau 1 dengan Alutsista yang sudah digelar, yaitu tiga KRI dan satu Pesawat intai maritim dan satu pesawat Boeing TNI AU. Dua KRI lagi masih dalam perjalanan dari Jakarta menuju Natuna.
“Selanjutnya dikatakan Pangkogabwilhan I bahwa operasi ini digelar untuk melaksanakan pengendalian wilayah laut khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) laut Natuna Utara,” demikian keterangan tertulis yang disampaikan Kabid Penum Puspen TNI, Kolonel Sus Taibur Rahman, Jumat (3/1/2020).
Yudo Margono mengatakan wilayah Natuna Utara saat ini menjadi perhatian bersama. Karena itu, operasi siaga tempur diarahkan ke Natuna Utara mulai 2020.
“Operasi ini merupakan salah satu dari 18 operasi yang akan dilaksanakan Kogabwilhan I di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya,” imbuhnya.

klaim CHINA
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, menyampaikan keterangannya perihal teritori Perairan Natuna ini, setelah Dubesnya di Jakarta dipanggil Kemlu RI. China bersikukuh. Menurut Geng, perairan di sekitar Kepulauan Nansha (Spratly Islands) masih menjadi milik China. Dubesnya di Jakarta juga menegaskan itu ke Kemlu RI.
Dalam keterangan terbaru, China berpendirian menentang siapapun yang merugikan pepentingan negaranya. “Pihak China secara tegas menentang negara manapun, organisasi, atau individu yang menggunakan arbitrasi tidak sah untuk merugikan kepentingan China,” kata Geng Shuang dalam keterangan pers reguler, 2 Januari 2020, dilansir detikcom dari situs Kementerian Luar Negeri RRC, Jumat (3/1/2020).
“Saya ingin menegaskan bahwa posisi dan dalil-dalil China mematuhi hukum internasional, termasuk UNCLOS. Jadi apakah pihak Indonesia menerima atau tidak, itu tak akan mengubah fakta objektif bahwa China punya hak dan kepentingan di perairan terkait (relevant waters). Yang disebut sebagai keputusan arbitrase Laut China Selatan itu ilegal dan tidak berkekuatan hukum, dan kami telah lama menjelaskan bahwa China tidak menerima atau mengakui itu,” tutur Geng.
BERPIJAK HUKUM

Indonesia berpijak pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Pada 2016, Mahkamah Arbitrasi UNCLOS menyatakan klaim 9 Garis Putus-putus China itu tidak mempunyai dasar historis. Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016.

Pada Rabu (1/1/2020) kemarin, Indonesia telah merilis keterangan untuk menanggapi klaim China atas bagian teritorial Indonesia. Klaim China atas bagian Perairan Natuna dinyatakan Indonesia sebagai klaim sepihak (unilateral) belaka.
“Klaim historis RRT (RRC -red) atas ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah ‘relevant waters’ yang diklaim oleh RRT karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982,” kata Kemlu RI.

TOLAK KLAIM CHINA

Pemerintah Indonesia kembali menegaskan menolak klaim China terhadap wilayah Natuna. Hal ini disampaikan usai rapat koordinasi terbatas di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (3/1/2020).

“Indonesia tidak pernah akan mengakui ‘nine dash line’, klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama UNCLOS 1982,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi seusai rapat terbatas itu.

Dia menuturkan, dalam rapat tersebut, pemerintah memastikan bahwa kapal-kapal China telah melakukan pelanggaran-pelanggaran di wilayah ZEE (zona ekonomi eksklusif) Indonesia.

Menurut Retno, ZEE Indonesia telah ditetapkan oleh hukum internasional yaitu melalui UNCLOS 1982. “Tiongkok merupakan salah satu party (bagian) dari UNCLOS 1982. Oleh karena itu merupakan kewajiban bagi Tiongkok untuk menghormati implementasi dari UNCLOS 1982,” tukasnya.

Dia juga menuturkan, dalam rapat itu juga disepakati adanya peningkatan patroli di wilayah Natuna.

TAMBAH PASUKAN

Sementara itu Kepala Bakamla Laksamana Madya Achmad Taufieqoerrochman, mengatakan, pihaknya akan menambah pasukan menyusul masuknya kapal-kapal China ke Natuna atau masuk ke perairan Indonesia.

Menurut dia, selain Bakamla, pihak TNI pun juga akan mengerahkan kekuatan untuk daerah tersebut.

“Pasti ada (penambahan pasukan). TNI pun pasti mengerahkan kekuatan juga. Tapi dalam kondisi damai saya bilang memang Bakamla di depan,” kata Achmad.

Dia menuturkan, dari hasil pemantauan pasukannya, sampai pukul 12.00 WIB hari Jumat kemarin, tidak ada lagi kapal milik China yang berada di perairan Natuna. “Dari pantauan survei kita sekarang, enggak ada. Jam 12 tadi enggak ada,” tukasnya.

Rapat terbatas itu dihadiri Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menko Polhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna H Laoly, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan ada Kabaharkam Polri Komjen Pol Agus Andrianto. (in/dtc/mdc)