BPJS Harus Kembalikan Uang Kelebihan Bayar Peserta

Kamis, 12 Maret 2020 | 23:22 WIB

Jakarta – BPJS harus kembalikan uang kekebihan bayar peserta BPJS setelah ada pembatalan kenaikan BPJS. Demikian anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengatakan dalam Dialektika Demokrasi ”Progres BPJS Kesehatan Pasca Putusan MA,” bersama anggota Komisi IX FPDI-P Rahmad Handoyo dan Ketua KORNAS MP BPJS Hery Susanto, Kamis (12/3) di DPR RI Jakarta.

Menurut Saleh Partaonan, Mahkamah Agung (MA) membatalkan peraturan kenaikan iuran BPJS sehingga badan penyelenggara jaminan kesehatan nasional itu harus mengembalikan kelebihan uang dibayarkan masyarakat. “Jika putusan itu mengatakan bahwa itu diputuskan membatalkan semua Perpres itu sejak (1) Januari ya tentu uang sudah dibayarkan masyarakat tidak berlaku, artinya tidak sah untuk dikutip atau diambil negara jika putusannya seperti itu,” ujarnya.

Uang yang sudah terlanjur dibayarkan itu tidak sah diambil oleh negara karena bertentangan dengan putusan MA. Karena itu pemerintah harus mengembalikan uang yang sudah lebih dibayarkan tersebut. “Tentu uang yang sudah dibayarkan sejak Januari harus dikembalikan oleh negara kepada masyarakat,” tambahnya.

Untuk itu ia meminta MA segera mengirimkan salinan putusan tersebut ke pemerintah dan lembaga terkait. Dengan begitu pemerintah bisa sesegera mungkin melaksanakan putusan dan tidak ada alasan untuk tidak mematuhinya.

Saleh Daulay juga mendukung revisi UU BPJS tersebut. “Apakah semua jenis penyakit tersebut harus ditanggung oleh negara? Revisi ini suatu keharusan karena untuk kepentingan dan perbaikan pelayanan kesehatan nasional sesuai standar pelayanan. Termasuk tenaga medis, alat-alat kesehatan, obatan-obatan dan sebagainya, atau pengelolaannya dikembaliklan ke Jamsostek?” tutur Saleh Partaonan.

Sedangkan Rahmad Handoyo mengatakan, Kita mendorong MA untuk segera menyampaikan salinan putusan itu kepada presiden dan juga kementerian dan lembaga terkait supaya bisa segera dilaksanakan. Pasca putusan MA yang membatalkan Perpres tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada Senin (8/3) lalu mengharuskan revisi UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sebab, BPJS sebagai lembaga pengelola keuangan kesehatan telah gagal.

“Kalau defisit anggaran BPJS saat mencapai Rp 33 triliun pada 2019 ini dan tak ada solusi untuk menutupi defisit itu, maka yang akan merugi dan terganggu adalah pelayalanan kesehatan masyarakat sendiri. Jadi, inilah yang harus dipikirkan bersama,” jelasnya

Karena itu penting pemerintah dan DPR merevisi UU BPJS tersebut agar pelayanan kesehatan masyarakat tidak terganggu. Selain menejemen dan sistem pengelolaan keuangan oleh BPJS, dugaan permainan rumah sakit dan dokter yang memudahkan klaim, obat-obatan, dan sebagainya.

Bahkan hingga 2022 defisit itu mencapai Rp 77 triliun. “Jadi, DPR coba memberikan solusi, misalnya dengan mengalihkan subsidi listrik, gas dan lain-lain yang mencapai ratusan triliun rupiah. Sementara subsidi BPJS terbesar untuk penyakit jantung, paru-paru, gagal ginjal, diabetes dan sebagainya inilah yang perlu diatur kembali,” tutur Rahmad Handoyo. (ZAR)