Ada Beberapa Metode Yang Dilakukan Dalam Buku PPHN

Rabu, 29 Maret 2023 | 20:26 WIB

Jakarta, MPOL: Ada beberapa metode yang dilakuka dalam buku PPHN demikian Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dalam diskusi Empat Pilar “PPHN Tanpa Amandemen” bersama Fahri Hamzah, anggota Komisi III Nasir Djamil dan pengamat Pangi Syarwi Chaniago, Rabu (29/3) di DPR RI Jakarta.

Menurut Bamsoet metode itu melalui Revisi UU No 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kata dia, dengan menghapus Penjelasan Pasal 7 ayat (1) atau judicial review Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah 2 dengan UU No.15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Sehingga TAP MPR dalam hirarki perundang-undangan hidup kembali dan tidak terbatas pada TAP-TAP MPR yang sudah ada, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (1) yaitu TAP MPR dan TAP MPRS yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No I/MPR/2002 tentang Peninjauan terhadap materi dan status hukum TAP MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

Metode dengan mengubah atau revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019. Kata dia, dengan memasukkan penambahan substansi kewenangan MPR dalam menyusun dan menetapkan PPHN.

“Saat ini Pimpinan MPR telah menugaskan Badan Pengkajian MPR dan Komisi Kajian Ketatanegaraan untuk mempersiapkan draft RUU tentang MPR (terpisah dengan DPR dan DPD), mengingat ketentuan Pasal 2 ayat 1, Pasal 19, dan 3 Pasal 22C dalam UUD NRI Tahun 1945, mengamanatkan bahwa keberadaan lembaga MPR, DPR dan DPD adalah diatur dengan Undang-Undang. Frase “diatur dengan Undang-Undang” –bukan “diatur dalam”– menekankan bahwa pengaturan mengenai MPR, DPR, dan DPD memerlukan adanya undang- undang tersendiri.”

Dengan menetapkan dalam sebuah Undang-Undang, menggantikan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Kemudian, MPR menetapkan PPHN melalui konvensi ketatanegaraan lembaga tinggi negara, untuk menghasilkan konsesus nasional yang berbasis pada kewenangan masing-masing lembaga tinggi negara.

Konvensi ketatanegaraan delapan lembaga tinggi negara yakni presiden, Majelis Perwakilan Rakyat (MPT), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY), tutur Bamsoet.

Sedangkan Fahri Hamzah mengatakan saya ingin menyampaikan beberapa catatan kritis untuk menjadi rational public discourse. Mas Bambang dengan buku PPHN tanpa Amandemennya menghendaki agar negara memiliki Haluan.

Haluan Negara penting agar apa pun kemungkinan ragam warna dan ideologi pejabat elected ataupun Parpol pemenang Pemilu, Negara tetap berjalan pada haluan yang
benar. Namun sesungguhnya konsep haluan dan atau peta jalan pembangunan hari ini tetaplah ada, hanya saja dipindahkan ke tangan eksekutif dan legislatif melalui pembentukan undang undang RPJM dan UU Sistem Pembangunan Nasional.

Namun masalahnya karena produknya berupa UU yang merupakan domain Presiden dan DPR,
maka haluan menjadi mudah berubah mengikuti perubahan hasil Pemilu. Mas Bambang mengharapkan agar yang dimaksud sebagai Haluan adalah sesuatu yang menjadi produk negara yang dijalankan oleh pemerintahan, sehingga kewenangan membuat haluan itu seharusnya ada di MPR dengan produk politik dan hukum MPR.

Fahri Hamzah berkesimpulan buku Mas Bambang adalah untuk menjawab pertanyaan eksistensial tentang keberadaan MPR; apakah MPR perlu kembali diberikan kewenangan politik dari sekedar kewenangan seremonial seperti yang dimiliki sekarang. Menurut saya MPR sangat perlu diberikan kewenangan politik tersebut untuk mencegah gridlock antar kamar kekuasaan dan mengurai kebuntuan dalam menghadapi permasalahan konstitusional dan ketatanegaraan.

Ada banyak contoh kebuntuan yang dapat terjadi dalam pelaksanaan Konsitusi kita, seperti pengaturan tentang anggaran pendidikan 20%, kemungkinan terjadinya perang, dan juga apabila presiden bersama DPR bersepakat untuk mengambil kebijakan yang dampaknya ekstrim bagi kehidupan bangsa dan negara kita. Semua ini memerlukan instrumen intervensi yang level nya bukan pada presiden atau DPR dan DPD, juga bukan di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsitusi. Tetapi intervensi diperlukan pada level majelis permusyawaratan rakyat. Oleh sebab
itu mengaktivasi kembali tools yang dimiliki oleh MPR berupa Ketetapan MPR menjadi sangat penting. Hal tersebut akan sangat efektif mengurai problem konstitusional dan ketatanegaraan. Jika intervensi politik tingkat tinggi diperlukan dalam mengurai kebuntuan politik maka yang melakukannya adalah sebuah lembaga yang cukup kuat dalam sejarahnya, tutur Fahri Hamzah.***