Jakarta, MPOL - Perubahan sikap
AS tolak solusi dua negara jadi ancaman serius penyelesaian konflik
Palestina-Israel demikian Ketua Pusat Study Amerika Universitas Indonesia (UI) ) Prof Suzie Sudarman mengatakan, dalam Gelora Talks bertajuk 'Bom Waktu! Trump Ingin Relokasi Warga Gaza-
Palestina, Apa Konsekuensinya?' Rabu (12/2) di Jakarta.
Baca Juga:
Menurutnya sikap politik luar negeri Indonesia selama ini dalam isu
Palestina, tidak merujuk pada keilmuan. Pernyataan Presiden Amerika Serikat (
AS) Donald Trump yang ingin mengusir atau merelokasi warga Gaza dari tanah air mereka harusnya disikapi serius.
"Sikap Trump harus disikapi secara serius, karena Trump ini serius, sementara kita kurang serius. Ini akibat domestik kita tidak tertata, sehingga kita tidak punya karakter." Hal ini terjadi akibat rakyatnya dinilai masih tertindas dan mendapatkan perlakuan semena-mena. Akibat ada problematik di dalam negeri itu, maka kebijakan politik luar negeri Indonesia menjadi kacau balau hingga sekarang.
"Terlalu ribet, kalau Kemenlu sekarang yang dituntut harus ikut perkembangan zaman, sementara di dalam negerinya masih ada masalah problematik." Kendati begitu Suzie berharap ada peningkatan publik diplomasi dan diplomasi luar negeri, sehingga Indonesia bisa diperhitungkan sebagai bangsa di kancah internasional.
"Kalau sekarang diplomasi kita tidak efektif dan tidak ditakuti negara lain, karena kita dianggap sebagai bangsa suka chaos. Tidak seperti Korea punya K-pop, lalu Amerika yang ada film. Sehingga kita betah berjam-jam di Starbuck, padahal Amerika itu, bengis. Itu akibat diplomasi mereka berhasil."
Ketua Pusat Study Amerika UI ini menilai pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Bogor bisa menjadi momentum untuk meningkatkan diplomasi Indonesia.
"Kalau dulu Bung Karno bisa menyatukan negara-negara di dunia, karena semua negara belum merdeka. Kalau sekarang lebih sulit. Tapi pertemuan Prabowo-Erdogan ini bisa meningkatkan diplomasi Indonesia lebih kenceng lagi," tutur Suzie Sudarman.
Sedangkan Ketua Pusat Solidaritas
Palestina DPP Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Tengku Zulkifli Usman menegaskan, bahwa posisi Indonesia dalam mendukung perjuangan dan kemerdekaan
Palestina tidak berubah dari era Soekarno hingga Presiden Prabowo Subianto.
Karena itu, isu
Palestina adalah masalah strategis yang perlu diperjuangkan oleh semua partai politik (parpol) yang ada, terutama parpol yang memiliki kursi di DPR.
"Tapi kita masih prihatin di Indonesia ini banyak kekuatan politik yang masih enggan berbicara isu
Palestina. Padahal pondasi konstitusi kita memerintahkan dan mendorong kita untuk memerdekakan
Palestina."
Saat ini, di
Palestina terjadi kejahatan luar biasa, dimana tidak hanya pembunuhan terhadap warga Gaza yang terjadi setiap hari, tetapi juga ancaman pengusiran paksa dan pembersihan etnis
Palestina.
"Narasi politik luar negeri ini yang perlu disampaikan ke masyarakat internasional, bahwa selama
Palestina masih dijajah Israel, maka Indonesia akan terus memperjuangkan kemerdekaan
Palestina."
Ia menyayangkan sikap kekuatan politik di Indonesia, baik parpol maupun lembaga swadaya masyarakat (NGO) yang masih berkutat pada 'nasi' atau donasi. "Ini yang kita sayangkan, padahal Indonesia punya kekuatan untuk menolak tekanan Amerika Serikat di saat Dunia Arab melemah. Sampaikan sikap tegas kita, bukan hanya soal 'nasi' yang kita sebut sebagai donasi. Tetapi harus juga ada narasi agar didengar dunia internasional."
Ketua Pusat Solidaritas
Palestina DPP Partai Gelora ini menilai upaya pengusiran paksa atau relokasi warga Gaza, sebenarnya bukan hal baru. Sebab, sejak awal Israel memang tidak ingin hidup berdampingan dengan
Palestina, karena tingkat pertumbuhan penduduknya tinggi. Sehingga solusi dua negara ditolak israel.
"Israel sekarang berkolaborasi dengan Donald Trump untuk melawan hukum internasional agar warga Gaza bisa diusir paksa dengan cara relokasi, meskipun PBB jelas-jelas mengatakan, tanah
Palestina milik
Palestina," tegasnya.
Sementara itu, Duta Besar RI untuk untuk Yordania merangkap
Palestina Ade Padmo Sarwono mengingatkan, bahwa perubahan sikap Amerika Serikat yang tidak lagi mendukung solusi dua negara dalam penyelesaian konflik
Palestina-Israel.
Perubahan sikap
AS tersebut, bisa berdampak serius pada upaya penyelesaian damai konflik di kawasan Timur Tengah (Timteng). "Ada yang menarik dari pernyataan Presiden Trump soal penyelesaian masalah
Palestina-Israel, dimana tidak ada lagi solusi dua negara seperti yang diharapkan Indonesia dan masyarakat internasional."
Sejak
AS dipimpin kembali Presiden Donald Trump untuk periode kedua, terjadi pergeseran kebijakan dan perubahan sikap yang ekstrem yang perlu mendapatkan perhatian serius masyarakat internasional.
"Trump menegaskan kembali proposalnya untuk merelokasi warga Gaza ke luar, terutama ke Yordania dan Mesir. Gaza akan dibangun proyek real estate atau properti untuk warga Timur Tengah, bukan untuk
Palestina."
Hal ini tentu saja akan mengulangi kembali terjadinya peristiwa Nakba tahun 1948, yakni pengusiran paksa dan pembersihan etnis
Palestina, serta perampasan tanah air mereka. "Pengusiran ini akan menjadi peristiwa Nakba kedua, karena itu proposal Trump ini sangat ditentang Dunia Arab dan Internasional, termasuk Yordania."
Yordania sendiri hingga kini telah menampung pengungsi
Palestina sekitar 2,5 juta dari peristiwa 1948, 1967 dan 1973. Sedangkan Lebanon menampung 500 pengungsi dan Suriah 900 pengungsi palestina.
"Meski dianggap double standard, Yordania sekarang sangat keras mendukung kemerdekaan
Palestina dan menolak relokasi warga Gaza." Ia menilai Raja Yordania Abdullah II menyadari konsekuensi atas sikapnya tersebut, yakni berakibat pada dihentikannya bantuan keuangan dari
AS, selain Mesir dan Israel.
Hal ini sudah disampaikan Raja Abdullah II saat bertemu dengan Presiden
AS Donald Trump di Gedung Putih pada Selasa (11/2/2025). Dan, Trump mengancam menghentikan bantuan
AS ke Yordania, apabila tidak mau menerima warga Gaza.
"Kita tidak tahu apakah yang disampaikan Trump ini sekedar bluffing atau benar? Susah kita menganalisa atau menilai Trump, sekarang bilang begini, tapi tiba-tiba bisa berubah," tegasnya.
Sedangkan Director Asia Middle East Center For Research and Dialogue Muslim Imran mengatakan, bahwa perang di Gaza sebenarnya adalah perang
AS. "Jadi proposal Trump ini bukan hal baru, yang ingin menjadikan Gaza sebagai real estate, pariwisata dan lain-lain. Proposal bermula dari Israel ditindaklanjuti Trump, dan rakyat
Palestina menolak proposal ini."
Dia berharap Indonesia bisa untuk dapat menolak proposal Trump untuk merelokasi warga Gaza ke luar
Palestina, dan mencegah terjadinya perang berkelanjutan. "Sebab, Trump ini orang Crazy, orang gila. Rakyat
Palestina menolak proposal ini, rakyat
Palestina mau kekal di
Palestina."
Indonesia dinilainya berbeda dengan lebih independen dibanding negara-negara Arab terhadap isu
Palestina. Negara-negara Arab sebagian besar dibawah pengaruh
AS, sehingga tidak independen.
"Indonesia dibawa Presiden Prabowo Subianto, kita berharap bisa membawa kemerdekaan
Palestina dan menolak tekanan Amerika Serikat," tutur Imran.***
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News