Jakarta, MPOL -
Konstitusi adalah Hierarki tertinggi dalam Peraturan Perundang-undangan untuk menjaga nilai-nilai hukum, keadilan, kebebasan dan keselarasan dalam berdemokrasi, demikian Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan dalam memperingatkan Hari
Konstitusi dan Hut ke 79 MPR RI, Minggu (18/8) di DPR/MPR RI Jakarta.
Baca Juga:
Menurutnya kehadiran konstitusi harus dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan yang menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan hak-hak warga negara. Hari konstitusi yang diperingati setiap tahun menjadi momen penghormatan setinggi-tingginya pada para pendiri bangsa atau the founding fathers yang telah merumuskan dasar-dasar konstitusi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam perjalanan sebuah bangsa, kita telah melewati berbagai ujian dalam berkonstitusi, ujian kepatuhan, dan ketaatan dalam berkonstitusi. "Oleh karena itu, ke depan kita wajib menjaga ketahanan berkonstitusi sekaligus memastikan agar konstitusi kita tetap responsif menghadapi dinamika sosial, politik, dan ekonomi."
Konstitusi harus mampu menjawab tantangan masa depan, menjadi jembatan antara cita-cita dan realitas serta jembatan antara harapan dan kenyataan, serta menciptakan arah baru dengan semangat inovasi keadilan dan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi seluruh elemen masyarakat," tutur Ma'ruf Amin.
Dalam kesempatan ini Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan Hari
Konstitusi yang diperingati menjadi momentum bagi seluruh elemen bangsa untuk merefleksikan kembali praktik ketatanegaraan. Sudah saatnya konstitusi kembali direnungkan pasca 26 tahun Reformasi. Karena kehidupan bernegara tidak mungkin terhenti dalam satu titik saja.
"
Konstitusi jangan hanya dimaknai membangun dokumen hukum saja, karena sejatinya dia mengandung pandangan hidup, cita-cita, falsafah nilai-nilai luhur bangsa yang akan bermakna ketika membumi dalam ruang realita."
Dasar negara telah melalui beberapa kali perubahan, mulai dari pemberlakuan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, UUD Negara Republik Indonesia Serikat, UUD Sementara, UUD 1945 Dekrit Presiden 5 Juli 1958, hingga UUD Negara Republik Indonesia yang sudah diamandemen pada 1999-2002.
Setiap periodisasi pemerintah memiliki tantangan yang berbeda-beda. Tantangan itu, bisa lahir dari bidang sosial, politik, ekonomi, kemajuan teknologi, hingga perbedaan cara pandang masyarakat dalam menghadapi perkembangan zaman. MPR pun sejauh ini telah meraup berbagai aspirasi dari sejumlah tokoh bangsa. Menurutnya banyak yang berpendapat bahwa demokrasi Indonesia saat ini sedang berada di persimpangan jalan. "Kita berpotensi kehilangan arah, kita mengalami disorientasi dalam mengartikan demokrasi kita ke depan," tutur Bamsoet.
Dihari yang sama dalam seminar
Konstitusi yang mengusung tema : "Refleksi Ketatanegaraan: Quo Vadis Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia?" Ketua MPR RI mengatakan, Implementasi
Konstitusi dalam praktik penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara mulai mengalami Deviasi, tidak lagi dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Konstitusi ditafsirkan menurut selera, dan bukan lagi merujuk pada tujuan awal (original 5 intent) dan itikad / niat baik (good intent) dari rumusan naskah UUD. Hingga pada akhirnya, hantaman krisis moneter menjadi pintu masuk bagi amendemen terhadap konstitusi.
Amendemen terhadap konstitusi merupakan bagian dari jawaban atas arus deras Reformasi yang menuntut pembenahan dan penataan kembali sistem ketetanegaraan, salah satunya UUD 1945, agar tidak ditafsirkan, diterjemahkan, dan diimplementasikan secara sepihak dan sewenang-wenang. Ironisnya, kini setelah 26 tahun reformasi menghantarkan euforia demokrasi, kini mulai muncul wacana untuk mengkaji kembali opsi amendemen terhadap UUD 1945, untuk mengoreksi kembali hasil amendemen konstitusi yang telah dilakukan selama periode 1999 hingga 2002.
Terkait wacana amendemen tersebut, MPR telah menangkap beberapa aspiras, antara lain : 1) amendemen terbatas (terkait kewenangan MPR mebentuk PPHN). 2) penyempurnaan / pengkajian menyeluruh terhadap 6 UUD Tahun 1945 hasil amendemen sebelumnya. 3) kembali ke UUD 1945 sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 4) kembali ke UUD 1945 yang asli, kemudian disempurnakan melalui adendum. 5) tidak diperlukan adanya amendemen konstitusi (UUD NRI Tahun 1945 yang saat ini berlaku masih relevan).
Urgensi untuk meninjau kembali konstitusi juga berangkat dari kekhawatiran bahwa masih ada banyak celah yang ditinggalkan UUD NRI 1945 yang berlaku saat ini. Misalnya ketika terjadi kehadian kahar yang memaksa penundaan Pemilu, sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya kevakuman kekuasaan, hal ini belum diatur mekanisme nya dalam konstitusi.
Jika terjadi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi kita, lembaga mana yang dapat mengambil peran. Selain itu, masih ada beberapa perdebatan mengenai persoalan kewenangan lembaga negara, misalnya setelah perubahan undang-undang dasar, apakah MPR masih memiliki kewenangan untuk melahirkan KetetapanKetetapan yang bersifat pengaturan? Berbagai kondisi di atas penting untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama, demi menjaga keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara. Idealnya, UUD 1945 harus dapat memberikan jalan keluar secara konstitusional untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan atau "constitutional deadlock".
Amendemen terhadap UUD 1945, faktanya memang telah mengubah sistem ketatanegaaan secara fundamental, salah satunya adalah reposisi MPR yang tidak lagi berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara dengan segala kewenangan superlatif yang melekat padanya. Meskipun demikian, MPR masih memiliki kewenangan konstitusional tertinggi dalam hal mengubah dan menetapkan UUD, termasuk memberi putusan akhir pada proses pemkakzulan (impeachment) terhadap Presiden/Wakil Presiden.
Kewenangan MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD pun seharusnya dapat dimaknai bahwa MPR sebagai lembaga permusyawaratan berhak untuk melakukan koreksi terhadap hukum/aturan dasar tertinggi negara.
Maksud diberikannya kewenangan ini kepada MPR ialah agar jalannya sistem ketatanegaraan Indonesia dapat berjalan sesuai dengan Pancasila sebagai bintang pemandu sekaligus dasar negara Indonesia. Senafas dengan pandangan di atas, kewenangan MPR untuk melakukan kajian dan evaluasi terkait hukum/aturan dasar tertinggi negara pada dasarnya memiliki kewenangan lain yang bersifat tersirat (implied power).
Sebagai satu-satunya lembaga yang berhak untuk mengubah dan menetapkan UUD, MPR pada dasarnya berhak pula untuk melakukan penataan kelembagaan ketetanegaraan Indonesia. Sebagai lembaga pembentuk konstitusi, MPR juga seharusnya berwenang untuk menjelaskan maksud dari tafsiran konstitusi yang dibentuknya dalam sidang judicial review di Mahkamah
Konstitusi. Pada hakikatnya, kehidupan ketatanegaraan dengan segala aspek fundamental dan institusi yang menopangnya, termasuk
Konstitusi dan kelembagaan MPR, akan selalu dihadapkan pada tantangan dan perubahan.
Karena konstitusi dan eksistensi MPR terikat oleh realitas zaman, maka adaptasi menjadi sebuah keniscayaan. Keduanya tidak boleh anti terhadap perubahan, karena cara pandang dan pemaknaan kita terhadap peradaban pun akan terus berkembang. Yang menjadi tugas kita adalah, memastikan bahwa setiap perubahan adalah menuju perbaikan. Menyikapi tantangan kebangsaan ke depan yang semakin kompleks dan dinamis, dan bahkan tidak sepenuhnya dapat kita antisipasi, maka idealnya konstitusi yang kita butuhkan adalah konstitusi yang transformatif, yaitu konstitusi yang memiliki visi dan refleksi masa depan.
Konstitusi yang transformatif tidak hanya mampu menjawab celah-celah dalam konstitusi, namun juga mampu menyediakan jalan keluar terhadap potensi-potensi persoalan ketatanegaraan di masa depan, tutur Bamsoet.
Dalam kesempatan ini Ketua MPR RI mengajak hadirin untuk sejenak menengok sejarah perjalanan konstitusi di Indonesia, untuk menyegarkan memori kolektif kita. Hari ini, 79 tahun yang lalu, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menyelenggarakan sidang untuk pertama kalinya, dan mengesahkan UUD 1945 sebagai
Konstitusi Negara. Proses pengesahan dillaksanakan dalam sidang yang berlangsung singkat (sekitar 2 jam). Memang, sebelumnya PPKI telah mendapatkan naskah racangan hukum dasar yang telah disiapkan oleh BPUKI, sehingga perubahan yang dilakukan tidak terlalu 3 besar.
Namun patut dicatat, bahwa selain ketersediaan draft rumusan naskah UUD, faktor lain yang mendorong cepatnya proses pengesahan UUD 1945 sebagai
Konstitusi Negara, adalah adanya semangat persatuan untuk segera membentuk konstitusi negara.
Semangat kebersamaan ini mewujud sikap penerimaan terhadap keberagaman, penghormatan terhadap minoritas, dan kebesaran hati mayoritas untuk merangkul seluruh elemen. Meskipun dirumuskan dalam kondisi kedaruratan dan dengan segala keterbatasan sumberdaya, namun UUD 1945 sangat mewakili jiwa bangsa pada masanya, yang mendambakan hadirnya negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, tutur Bamsoet.***
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News