Jakarta, MPOL - Mempercepat kebutuhan perumahan tenaga kerja kenapa menjadi polemik dengan teknik pelaksanaan simpanan Tabungan perumahan rakyat (
Tapera), demikian anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad mengatakan dalam dialektika Demokrasi "Menelisik Untung Rugi
Tapera" bersama anggota DPR RI Herman Khaeron, pengamat Trubus Rahardiansah dan praktisi media John Oktaveri, Kamis (30/5) di DPR RI Jakarta.
Baca Juga:
Menurut Kamrussaman menjadi polemik karena belum disosialisasikan,di dalam PP ini disebutkan bahwa hal yang berkaitan dengan teknik pelaksanaan dan pengelolaan simpanan itu akan dibuat lebih peraturan komite badan pengelola, tapi yang kita perlu kawal tahun berapa pekerja yang menyimpan bisa mendapatkan rumah, jenis rumah seperti apa yang bisa didapatkan, lokasinya di mana, berapa nilainya fasilitas, subsidi apa yang diperoleh. Itu yang perlu kita kawal supaya masyarakat, para pekerja para pemuda-pemudi kita yang non ASN merasa tidak diambil haknya tapi dibantu mengelola apa yang diperoleh setiap bulannya.
Untuk mereka mendapatkan fasilitas perumahan nantinya menurut saya PP nomor 21 tahun 2024 ini harus segera disosialisasikan ke seluruh entitas Serikat pekerja, baik di BUMN maupun di badan usaha milik swasta, sampai ke Bumdes, agar mereka tahu bahwa mereka punya kesempatan dan ke pelaku usaha karena pelaku usaha juga terkena, mereka mengalokasikan 0,5 setiap bulannya sebagai simpanan yang akan dikelola, nah bagaimana pengelolaan simpanannya itu diatur di dalam PP ini nanti kita bisa kontrol awasi BPK, tutur Kamrussamad.
Sedangkan Herman Khaeron mengatakan kenapa kemudian ini tidak diributkan sejak lahirnya undang-undang tabungan perumahan rakyat ini, yang lahir dengan PP nomor 4 dan lahir tahun 2016, atau barangkali gaduh dan diributkan sejak lahirnya peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2020, kenapa baru kemudian kita ributkan setelah lahirnya peraturan pemerintah nomor 21 tahun 2024.
Karena memang ada kewajiban kepada siapapun baik korporasi, maupun yang mandiri untuk turut serta di dalam tabungan perumahan rakyat. dengan syarat-syarat tertentu yang salah satunya adalah 3% .0,5 dari perusahaan dua setengah persen dari karyawan, pegawai.
Pertanyaannya apabila seorang pegawai itu sudah punya rumah, apakah juga masih dipotong kan, kewajibannya sama, tidak berlaku untuk yang mereka tidak berminat gitu ,betul enggak pak John sudah punya rumah, tapi acuan masih punya kewajiban, karena wajib berlaku untuk semuanya. Nah ini pun harus semestinya di pertimbangkan, di dalam penyusunan peraturan pemerintahan tersebut.
Yang kedua ini kan dibuat tenor 30 tahun ,itu adalah jangka waktu pengambilan kredit 30 tahun, nah kalau jangka waktu 30 tahun, kemudian seorang karyawan berpindah-pindah, bagaimana, atau tiba-tiba dia dalam 5 tahun mampu bayar karena berada dalam perusahaan yang sama atau dua tahun lah kemudian berhenti nganggur dan lain sebagainya, terus menjadi kewajiban mandiri bagaimana.
Yang ketiga sekarang kan sudah banyak potongan, ada potongan BPJS, ada potongan jaminan hari tua, ada potongan apalagi tuh ada 5 lah mungkin kurang lebih 5 gitu ada potongan-potongan, kemudian ditambah lagi untuk potongan tapera. ini kan diperuntukkan bagi pegawai perusahaan yang berpenghasilan rendah, sudah penghasilan rendah banyak potongan nah ini juga yang harus dipertimbangkan.
Saya tidak mengatakan, bahwa saya tidak setuju dengan peraturan pemerintah, tetapi semestinya ini yang harus dipertimbangkan. dan syarat di dalam membuat aturan sebetulnya sudah jelas bahwa harus melalui sosialisasi, yang bermakna karena apa usernya adalah seluruh masyarakat, usernya kita semua .nah oleh karena itu ini yang saya harapkan pemerintah bisa merespon, karena ini peraturan pemerintah.
Kalau ini kritiknya terhadap undang-undang tentu DPR punya kewajiban untuk mengkaji, mengevaluasi dan bisa saja berinisiatif untuk melakukan revisi. tapi karena ini adalah peraturan pemerintah, maka pemerintah harus mengkaji ulang terhadap reaksi publik saat ini .dan kemudian memikirkan langkah-langkah teknis apa yang tepat dengan kemampuan daya beli dan keberadaan masyarakat yang saat ini.
Mungkin secara permanen dia tidak 30 tahun tidak akan ada dalam suatu perusahaan tertentu bagaimana kalau dia pindah dan lain sebagainya, bagaimana kalau ada jeda mereka nganggur itu kan belum tentu punya uang. Menurut saya niat pemerintah ini juga sudah bagus, niat pemerintah ingin bahwa seluruh rakyat Indonesia terpenuhi hak akan kepemilikan rumah namun tentu cara yang tentu ini harus dibicarakan ulang harus dihidupkan pada porsi yang tepat, sehingga betul-betul masyarakat bisa mendapatkan rumahnya, hak mendapatkan perumahannya atau rumahnya.
Tapi pada sisi lain tidak diberatkan dengan sistem dan program pemerintah yang sesungguhnya, ini punya tujuan yang baik ini yang menurut saya harus dipikirkan. oleh karena itu DPR akan terus menampung mendengar dan kami sendiri di Fraksi Partai Demokrat terus menginventarisasi terhadap seluruh urusan terhadap usulan masyarakat, dan aspirasi yang berkembang di publik ,baik langsung maupun melalui media cetak ,dan elektronik, tutur Herman Khaeron.
Sementara itu Trubus Rahardiansah mengatakan dalam hal ini rumah itu ya itu kewajiban negara. sebenarnya kalau kita merujuk pada tadi undang-undang pasal 27, ya sekarang kalau kita lihat di pasal ini pasal 28h ayat 1 undang-undang dasar 45 itu "setiap warga negara memiliki hak untuk dapat hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat".
Nah berarti apa, berarti bahwa soal rumah itu menjadi tanggung jawab negara ,pengertiannya begitu kalau kita lihat di PP 21 itu itu kan jelas negara enggak mau bertanggung jawab, kenapa karena tiga persen itu, jelas memberatkan masyarakat artinya gini di PP 21 itu pertama kan mengatur mengenai ASN TNI, Polri, oke yang itu tidak masalah, karena itu memang bagian dari akar-akar negara.
Yang kedua ini kaitan dengan pekerja - pekerja swasta dalam bahasa karyawan swasta nah kalau swasta itu 3% dia harus menanggung begitu besar, kalau perusahaan aja 0,5 selebihnya adalah perusahaan yang apa karyawan yang harus menanggung.
Contoh misalnya UMP DKI Jakarta itu 5 juta ,5 juta kalau tiga persennya itu berarti 150.000, 150.000 maka karyawan harus membayar rp125.000 sementara yang namanya perusahaan itu harus menanggung 25.000 nah ini kan terus kita bertanya negara tanggung jawabnya ada di mana, kalau itu cuman hanya diserahkan semuanya kepada masyarakat.
Belum lagi masyarakat artinya saat pekerja itu sebagai warga dari masyarakat yang bekerja dihadapkan oleh kewajiban yang lain yaitu dengan BPJS kesehatan, ketenagakerjaan dan yang lain-lainnya, total-total itu kira-kira 6,5% yang harus dikeluarkan karena mengikuti undang-undang.
Di satu sisi yang namanya pelaku usaha tentu berat sekali 0,5 sementara ini peluang usaha sudah berkali-kali kita diskusi dengan Apindo mengatakan bahwa itu kita sudah banyak kewajiban sebagai BPJS tenagakerjaan BPJS kesehatan, pajak dan lain-lain totalnya mencapai 20%, ditambah lagi kan berat lagi jadi ujung-ujungnya nanti, dia akan melakukan rasionalisasi atau mau PHK karyawannya kalau mau harus nanggung karena kalau nanggungnya cuman 120.000 enggak apa-apa tapi kalau itu karyawan yang sampai ratusan atau ribuan bagaimanakan.
Nah yang ketiga itu untuk pekerjaan mandiri dapat kerja mandiri itu kan kategorinya freelance itu kan dalam istilah Jawa wong nganggur, orang nganggur kok disuruh bayar 3%, itu yang jadi masalah sendiri dia tanggungan, nah idealnya kan negara kalau mengacu pada ini harusnya negara bertanggung jawab di situ. Artinya kepada mereka yang kategori pekerja apa mandiri ataupun kata freelance harusnya itu sepenuhnya ditanggung jawab oleh oleh negara, tutur Trubus Rahardiansah.***
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Marini Rizka Handayani