Jakarta, MPOL - Pentingnya kesehatan mental anak ditengah perkembangan teknologi informasi demikian anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa mengatakan dalam Dialektika Demokrasi, " Menjaga Dunia Pendidikan Dari Pengaruh Negatif Media Sosial" Kamis (13/3) di DPR RI Jakarta.
Baca Juga:
Menurutnya kesehatan mental anak-anak saat ini sangat dipengaruhi oleh media sosial, termasuk platform seperti TikTok,
Instagram,
WhatsApp, dan
Line.
Anak-anak kerap mengalami kegelisahan bahkan kesedihan hanya karena hal-hal yang dianggap sepele, seperti tidak difollow atau diunfollow oleh teman-temannya.
"Ini adalah tanda bahwa anak-anak kita belum cukup kuat secara mental untuk menghadapi tekanan dari dunia digital." Sikap orang tua yang terlalu permisif dalam membiarkan anak berinteraksi dengan dunia digital tanpa memberikan bekal yang cukup.
"Kita sebagai orang dewasa seringkali lupa bahwa literasi digital anak-anak kita masih sangat rendah. Padahal, literasi digital adalah tahapan keenam dari kemampuan literasi, yang diawali dengan literasi baca tulis, numerasi, finansial, kebudayaan, dan teknologi."
Rendahnya literasi baca tulis menjadi masalah mendasar yang harus segera diatasi. Ia mendesak pemerintah untuk merancang program literasi baca tulis yang terstruktur, mulai dari kelas 2 SD hingga SMA.
"Anak-anak harus menguasai ribuan kosakata dan memahami persoalan yang muncul dari bacaan. Komunikasi tertulis dan lisan itu sangat berbeda, dan ini adalah PR besar yang belum terselesaikan," tegasnya.
Ia juga menyoroti kurangnya pendampingan orang tua dan sekolah dalam mengembangkan literasi anak. Ia mencontohkan, kebiasaan memberikan buku sebagai hadiah ulang tahun dan mendiskusikan isinya sudah mulai hilang.
Kesehatan mental, Ledia mengungkapkan kekhawatirannya atas meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan anak-anak, yang seringkali dipicu oleh hal-hal sepele seperti masalah di media sosial.
Betapa rentannya mental anak-anak kita. Ketahanan keluarga harus diperkuat, dan orang tua tidak bisa melepas anak begitu saja berinteraksi dengan media sosial," tegasnya.
Untuk itu Ledia mengingatkan pentingnya penegakan hukum yang konsisten terhadap pelanggaran di dunia digital, termasuk eksploitasi anak.
"Kita sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak yang kuat, tetapi implementasinya masih lemah. Predator digital seringkali lolos dari hukuman yang seharusnya."
Menghadapi perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), Ledia menekankan perlunya adaptasi dalam sistem pendidikan.
"Anak-anak semakin sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak. Pembelajaran di sekolah juga harus menyesuaikan dengan kebiasaan anak-anak yang sudah terbiasa dengan konten visual dan cepat."
Ia berharap, perubahan kebijakan pendidikan yang sedang dirumuskan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi (Kemendikbudristek) dapat mengantisipasi tantangan ini, tutur Ledia Hanifa.
Sedangkan Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyati mengatakan kalau kita berbicara perkembangan otak manusia maka otak kita yang terdiri dari 5 bagian kalau pada usia anak itu belum matang keseluruhannya terutama otak depan di mana otak itu untuk membedakan baik buruk benar salah analisa itu enggak belum matang matangnya aja manusia itu di umur 25 gitu.
Nah proses itu kan makanya anak-anak ini seringkali menjadi korban karena tidak tahu risiko tidak paham bahwa ini akan berdampak buruk pada mereka. Nah karena otak yang di anak itu yang matang duluan adalah otak emosional atau otak perasaan maka tadi perkawinan contohin apa bujuk rayu dengan cara tadi ya di sapa gitu diberi perhatian karena dia kekurangan perhatian.
Nah maka kemudian akhirnya jadi korban begitupun misalnya kasus ibu guru itu ya jadi kita bisa bayangkan coba orang dewasa aja bisa jadi korban dan banyak loh korban orang dewasa yang mengalami kekerasan seksual di dunia maya, apalagi anak-anak nah terkait ini sebenarnya FSGI mencoba menggunakan data yang ada.
yaitu pertama Indonesia itu ternyata masuk 10 besar di dunia untuk anak-anak yang mengalami kekerasan seksual secara daring jadi sekarang perkosaan itu bisa dilakukan tanpa harus bertemu perkosaan itu bisa dilakukan tanpa harus ada penetrasi langsung dan kekerasan seksual termasuk perkosaan tadi ya karena kan kekerasan tekstur itu sebenarnya banyak ragamnya .
Nah sekarang pun undang-undang apa tentang kekerasan seksual itu pun sudah bisa mengatur kalau kekerasan itu terjadi secara daring jadi sebenarnya yang perlu dilakukan adalah para korban ini tidak perlu takut ancaman tapi harus lapor ,berani lapor. karena kalau selama dipenuhi terus ke apa ancaman-ancaman itu itu enggak akan berhenti tapi terus meningkat dan untuk anak-anak ini kadang enggak paham di mana dia harus pertolongan lalu kalau dia cerita kok orang tua dia takut nanti saya diomelin saya disalahin gitu akan dihukum jadi kondisi ini membuat dia bingung lalu wajib sama guru nanti gurunya iya kalau bisa menyimpan bagaimana kalau kemudian jadi cerita akhirnya juga dia dipermalukan dan lain-lain.
Nah peran orang tua di sini sebenarnya mengedukasi problemnya, orang tuanya teredukasi enggak kalau orang tuanya saja enggak tahu sementara temenin info dulu ya nama itu mengeluarkan 9 modul yang isinya tuh bagaimana berliterasi sehat termasuk untuk orang tua, tutur Retno Listyati.***
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Marini Rizka Handayani