Aku Terkena Santet Ha****

Jumat, 31 Januari 2020 | 12:48 WIB

Oleh : NN

Aku seorang PNS di sebuah instansi Pemerintah Kabupaten Singkil, Provinsi Naggroe Aceh Darussalam. Sebagai alumni Fakultas Kedokteran Hewan dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, aku bangga dapat menerapkan ilmu yang kudapat di kampus menjadi bagian masyarakat. Tentunya membantu hal-hal yang berhubungan dengan hewan. Inseminasi sapi sampai membantu persalinan hewan berkaki empat itu. Semua kusyukuri dan kunikmati karena bagiku hidup adalah anugerah Tuhan yang terindah.

Di Singkil aku membina istana kecilku dengan seorang wanita berasal dari Kota Tapak Tuan Aceh Selatan. Kami hidup bahagia di sana meski harus hidup dalam kesederhanaan. Itu semua sudah cukup selama tidak menyusahkan orang lain. Yang pasti bila kita mau bekerja keras materi pasti akan datang dengan sendirinya.

Aku berkutat dengan berbagai kegiatan kerja hingga bisa membawaku menjadi kepala seksi di tempatku bekerja. Bagiku bekerja mengutamakan loyalitas dan kejujuran. Tak kupingkiri dengan motto ku itu aku bisa cepat dekat dengan atasan. Hasilnya suatu waktu aku mendapat kesempatan untuk mengerjakan sebuah proyek dari kantor.

Jujur aku senang karena di proyek itu akan menunjukkan ke professionalan ku sebagai seorang dokter hewan. Namun aku tak pernah menyangka proyek itu pula yang mengubah hidupku. Proyek ratusan juta itu bermasalah hingga akupun ikut diperiksa meski menjadi saksi. Pemeriksaan berulang-ulang yang membuatku down secara psikologi. Terlebih juga dikejar berbagai persoalan yang sifatnya menekan dan memojokkan.

Tapi satu hal yang membuat ku tegar. Aku hanya seorang pelaksana tugas lapangan yang bergerak jika sudah dapat perintah. Kasus itu terus mencuat hingga akhirnya menjerat beberapa orang atasan.

Kejadian itu membuatku benar-benar jatuh. Kinerjaku merosot. Walau aku bebas tapi lingkungan kerjaku jadi tak nyaman. Akhirnya kuputuskan untuk mutasi ke Subulussalam yang masih merupakan bagian dari Nanggroe Aceh. Aku tak ingin lebih banyak luka dan sakit bila semakin lama aku bertahan di tempat kerjaku.

Proses mutasi yang panjang memang makin menggerogoti ketabahanku. Tapi apa mau dikata aku harus berusaha untuk tegar di tempatku yang baru. Rumah kami di Singkil pun terjual pasca tsunami kecil yang melanda Singkil waktu itu. Kupikir semua akan jadi awal yang baik. Kami ulang kehidupan baru dari nol dengan membangun sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Sambil mengurus mutasi kerja aku mencoba beternak ayam adu yang bibitnya kuambil dari berbagai tempat seperti Banda Aceh dan Perbaungan, Sumatera Utara. Mumpung saat itu lagi demam sabung ayam hingga usahaku berjalan lancar.

Itu juga tidak lama. Lagi-lagi masalah lain muncul. Kali ini dengan tetanggaku sendiri. Menggunakan bagian tanahku tanpa izin. Cekcok pun tak terhindari. Sebenarnya ada rasa tidak enak di hatiku, tapi aku juga sudah capek tertekan terus. Aku marah sejadi-jadinya karena yakin aku benar. Suasana tidak enak itupun terus berlangsung. Kami hidup berdampingan tanpa tegur sapa. Aku sudah tidak perduli. Biarlah itu terjadi. Aku tidak mau ambil pusing. Aku sudah mau muntah menghadapi masalah demi masalah. Aku ingin menjalani hidupku dengan tenang.

Ternak ayam aduanku pun berkembang. Dari bilangan puluhan menjadi ratusan ekor. Banyak pecandu ayam aduan yang membeli ayam dariku karena pertimbangan kualitas bibit yang kumiliki. Aku bersyukur karena semua bisa jadi obat hati sambil menunggu proses mutasi. Stres-ku benar benar hilang bila aku berada di sekitar kandang. Ilmu kedokteranku bisa kupakai untuk menjaga ayam-ayamku selalu sehat.

Lalu suatu sore menjelang senja saat aku bersih-bersih di kandang belakang rumah. Kakiku terperosok ke dalam sebuah lobang yang tergenang air. Hujan pagi tadi memang sudah membanjiri setengah halaman kandang ayamku maka lobang itupun tak terlihat. Betis sebelah kiriku sedikit tergores.

Walau tidak banyak mengeluarkan darah tapi bekas luka terlihat di sana saat aku mengangkat kaki dari lobang tersebut. Benar barangkali yang dikatakan orang tua, tidak baik mengerjakan sesuatu saat hampir Maghrib. Aku pun bergegas masuk ke dalam rumah. Mandi dan mengobati luka kecil tadi dengan betadine. Tak terpikir olehku sedikitpun itu menjadi petaka yang panjang.

Malam harinya aku bermimpi buruk dikejar-kejar oleh makhluk-makhluk mengerikan. Kemudian aku merasa berada dalam lingkaran api yang tak kunjung padam. Kemudian aku tersentak karena lukaku terasa mulai terasa perih. Aku menganggap itu hanya hal sepele.

Tapi mimpi mengerikan itu berulang beberapa malam. Setiap aku terjaga luka di kakiku makin terasa mengganggu. Gatal dan mulai berdenyut. Rasa gatalnya kian menjadi-jadi yang tak bisa kuabaikan untuk menggaruknya. Beberapa hari kemudian bekas luka itu memerah trus menggembung seperti tersiram air panas atau  luka bakar. Gelembungnya pertama hanya sepanjang 10 cm. Rasa gatal yang menyerang kakiku berubah jadi rasa sakit yang tak tertahankan. Padahal beberapa hari aku sudah mengkonsumsi anti biotik dan obat untuk denyut.

Sakitnya semakin menyiksa. Bila rasa sakit bercampur perih itu datang aku tak malu lagi untuk menangis. Gelembung di kakiku semakin besar dan akhirnya pecah. Kulit kakiku terbuka. Dalamnya terlihat begitu merah. Tak bisa kuceritakan bagaimana rasa sakitnya. Yang pasti aku segera mendapat perawatan. Opname di rumah sakit Subulussalam untuk beberapa hari. Itu juga tak mampu mengurangi penderitaanku. Sebab gelembung yang pertama pecah, muncul lagi gelembung baru di sebelahnya. Membesar dan kembali pecah. Kemudian muncul lagi yang baru. Begitu terus yang kualami. Luka seperti kena air panas itu terus mengelilingi betisku. Hingga ada bagian dagingnya yang sudah koyak. Kakiku seperti bekas digigit binatang buas. keroak di beberapa tempat.

Aku sudah tidak bisa menikmati hidup dengan tenang. Aku sudah tidak malu lagi meraung saat rasa sakitku datang. Celakanya dalam kondisi stres itu asam lambungku pula ikut naik. Suka tidak suka aku harus dirawat lagi di rumah sakit. Tiba-tiba aku merasa sesak hingga butuh oksigen. Kehidupan ku benar-benar berobah drastis. Semua saran teman kuikuti. Berobat ke orang pintarlah, diruqiyah, terapi herbal, sampai akhirnya aku bosan sendiri. Karena hasil dari semua itu kakiku tetap sakit malah semakin parah. Luka memerah sekeliling kakiku kini jadi basah. Dalam sehari bisa tiga handuk yang digunakan jadi alasnya agar air dari kakiku itu tidak merembes ke lantai.

Sebulan berlalu, deritaku semakin berat. Aku sudah tidak bisa berjalan. Sebagian dari daging di betis ku hilang membentuk lekuk-lekuk yang dalam. Sepertinya aku sudah tidak merasakan kakiku itu ada. Aku pasrah sudah. Gula darah atau kolesterol ku di check di rumah sakit hasilnya semua normal. Tapi aku seperti orang tua yang sudah tak mampu apa-apa menunggu ajal datang menjemputku. Dalam ketakberdayaanku akhirnya kuminta keluargaku di Kisaran Sumatera Utara untuk menjemputku ke Subulussalam. Andai saat itu aku mati biarlah aku menghembuskan nafasku di tanah kelahiranku. Aku lelah. Aku capek dengan semua penderitaan ini. Aku sudah benar-benar pesimis akan nasib ku ke depan.

Meski dengan berat, istriku pun rela aku pulang kampung. Dengan harapan ada titik terang buat kesembuhanku. Dia tidak bisa menyertai karena tugasnya sebagai guru di MAN Subulussalam.

Perjalanan tujuh jam dari Subulusalam kulewati dengan sisa semangat hidupku untuk jumpa dengan keluargaku di Kisaran. Hingga saat tiba di kotaku aku disambut dengan tangisan semua keluargaku yang begitu terenyuh melihat kondisiku. Tapi begitu melihat mereka, muncul sebuah semangat baru di hatiku. Aku harus sembuh. Pengobatan kembali terjadi.

Paranormal pertama yang mengobatiku menggunakan sarang semut. Dibalutkan di betisku yang luka. Awalnya terasa begitu dingin, namun lama kelamaan betisku panas kayak terbakar. Aku  menangis menahan sakit yang luar biasa. Lalu-luka itu dikompres dengan air sirih. Hasilnya juga sama. Sudah beberapa paranormal yang datang ke rumah untuk membantu. Semua tak lama. Langkah akhir diambil aku kembali opname di rumah sakit Umum Kisaran.

Diagnosa dokter spesialis penyakit kulit di situ katanya aku terkena infeksi kulit yang akut. Keluargaku silih berganti berjaga dan menjengukku. Selain pengobatan medis pengobatan alternatif terus dilakukan. Keluargaku juga ikut berjuang agar aku sembuh.

Kudengar dari keluargaku yang bertanya ke orang pintar katanya aku terkena sejenis santet yang bernama Ha****. Santet tersebut, entah dari mana datangnya, konon merupakan ilmu santet yang menggunakan bermacam miang dari berbagai tumbuhan ditambah dengan bermacam racun mistis olahan. Santet itu bisa membuat anggota tubuh yang kena menjadi busuk dan hancur. Jujur, aku sudah tidak perduli dengan semua itu. Jika aku mati, aku sudah ikhlas karena aku berada di tengah tengah keluargaku.

Sepuluh hari di rumah sakit tak membawa perubahan yang berarti. Rongga daging di betisku semakin lebar. Ada dagingnya yang membusuk dan jatuh. Adik laki-lakiku terus berikhtiar dengan mencari orang pintar sampai ke daerah Damuli yang terletak dalam wilayah Kabupaten Labuhanbatu Utara. Itu juga hanya bisa mengurangi penderitaanku di malam hari. Aku sudah lebih tenang menikmati tidur malam. Mimpi-mimpi yang menakutkan itupun sudah jarang mengusikku. Kadang kupikir, pantaskah aku menerima semua ini dengan apa yang pernah kuperbuat? begitu banyak tekanan dan rasa sakit yang kudapat. Kurasa Tuhan memang punya rencana lain buat hidupku ke depan.

Sebulan aku di Kisaran, kemudian istriku memintaku untuk kembali pulang karena ada kabar seorang paranormal di daerah Pakpak Barat sekitar 45 menit perjalanan dari Subulussalam sanggup mengobati sakitku. Spontan semua senang. Setelah disepakati aku kembali diboyong pulang dengan mobil carteran. Hanya saja kondisiku lebih kuat ketimbang saat pertama aku pulang ke Kisaran.

Aku dibawa ke sebuah rumah yang lokasinya agak naik ke atas perbukitan dengan jalan kecil dipenuhi batu-batu kerikil. Rute yang cukup sulit memang tapi semua mungkin perjuanganku untuk sembuh. Kami menemui seorang laki-laki yang kelihatan masih berumur 40 tahunan. Dia tak mau namanya disebarkan tapi insya Allah atas izin Tuhan dia akan membantu. Katanya pengobatan kakiku harus dilakukan tiga kali pengobatan. Sungguh! Di sana aku melihat sesuatu yang tidak bisa kucerna dengan akal sehatku atau bahkan dengan dasar ilmu kedokteran.

Pada pengobatan pertama itu satu panci air mendidih berisikan beraneka jenis akar dan daun disiramkan ke betisku. Bukan rasa panas yang datang melainkan dingin yang teramat sangat. Ini buat yang pertama kali aku bisa merasakan sesuatu di kakiku lagi. Dukun muda itu hanya tersenyum dengan ketakjubanku. Katanya air pertama ini untuk membunuh bisa atau racun dari santet yang sudah menempel di betisku itu. Lalu pada pengobatan kedua juga sama. Air mendidih itu dibuat lagi dan disiramkan ke kakiku. Hanya rasanya sudah seperti air hangat hangat kuku. Dan pada pengobatan ketiga air itu tidak disiramkan semuanya melainkan dengan menggunakan kain kompres. Tapi panasnya aku sudah tidak tahan.

Alhamdulillah atas izin Tuhan selama proses pengobatan pertama sampai yang ketiga perobahan di kakiku sudah semakin banyak. Daging betisku kembali muncul perlahan menjadi rata dengan yang lain. Lobang-lobang yang terkuak mulai menutup. Rasa panas pada pengobatan ketiga menurut dukun itu menunjukkan bahwa betisku sudah sembuh. Aku bersyukur dalam dalam. Saran baik dukun muda itu kuikuti. Aku harus pindah dari rumahku karena rumah ku itu tidak baik buat kesehatanku lagi. Aku juga tidak boleh membalas apa yang telah kualami biarlah menurutnya Tuhan yang memutuskan semuanya.

Nasehat baik  itu terus kuingat. Walau sakit kakiku meninggalkan cacat seperti titik berwarna merah aku tetap bersyukur. Apalagi aku sudah mulai bisa berjalan kembali. Bersamaan dengan sembuhku urusan mutasiku juga rampung. Aku mengulang semua hidupku dari awal meski harus mengontrak sebuah rumah kecil untuk menjadi istanaku. Jujur sampai saat ini titik merah di kakiku sesekali terasa nyeri atau berdenyut. Semua itu sudah mulai terbiasa karena yang kurasakan sekarang jauh lebih indah dari sebelumnya. Aku hanya berharap suatu waktu akan ada lagi bantuan Tuhan melalui orang orang baik yang bisa menyembuhkan kakiku sepenuhnya. Yang pasti saat ini kehidupanku harus berjalan. Biarlah semua kisahku akan kujadikan pelajaran agar aku bisa lebih bijak dalam menyikapi semua masalah.

Terimakasih Ya Allah atas segalanya. ***