Sejak proklamasi Republik Indonesia dikumandangkan Soekarno-Hatta bersama rekan-rekan pejuang saat itu di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat, pada Jum’at 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya merdeka.
Negeri ‘Merah-Putih’ ini masih terus dilumuri kebusukan-kebusukan penjajah bersama koalisi-koalisi jahat yang menginginkan nusantara tetap digenggaman kaum kolonial Belanda serta negeri yang ingin meraup keuntungan dari negeri terjajah selama 350 tahun lebih ini.
Tetapi, semangat untuk merdeka, terus bergelora, meskipun tidak sedikit pengorbanan, harta dan jiwa.
Sebenarnya, diakui atau tidak, keberanian pejuang pemuda saat itu untuk memerdekaan bangsa ini tidak terlepas dari kehendak Sang Pencipta Allah SWT. Kekuatan moral anak negeri menguat setelah Jepang, yang bercokol di negeri ini kurang lebih 4 tahun, takluk setelah bom Hiroshima dan Nagasaki, 4 dan 9 Agustus 1945.
Tapi keruntuhan Jepang, bukan berarti hadiah kemerdekaan kepada bangsa ini. Karena, para pendahulu bangsa saat itu tidak pernah mengeluh atau berhenti berjuang untuk mendapat pengakuan dunia atas kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Banyak nian kisah pilu yang dialami bangsa ini dalam meraih cita-cita merdeka itu.
Sebab itu, sebagai bangsa yang besar, kita tidak boleh melupakan sejarah, bagaimana merebut negeri ini dari tangan kaum kolonial. Bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, baik yang terlibat langsung dalam pertempuran hidup dan mati, atau pahlawan dari belakang panggung, yang memiliki kata-kata bak pedang, karya sastra yang menggelorakan semangat para pejuang.
Pujangga Chairil Anwar (26 Juli 1922 – 28 April 1949), yang kita kenal melalui puisinya “Aku Bukan BInatang Jalang” adalah salah satu pejuang sastrawan yang hidup di era proklamasi dikumandangkan. Makanya, tak heran, di dunia sastra, beliau disebut ‘Pelopor Angkatan 45’. Banyak tulisan beliau, bernafaskan keinginan bangsa ini untuk merdeka, dari 96 karya, 70 diantaranya puisi.
Itulah salah satunya, puisi “Aku” yang menggelar nama beliau adalah seorang binatang jalang, yang menurut hemat saya, beliau menggambarkan dirinya sebagai orang yang tidak ada apa-apanya, bahkan beliau mengatakan dirinya dari kumpulan yang terbuang, tersisihkan di komunitasnya.
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Chairil Anwar
Maret 1943.
Saking hebatnya, puisi AKU ini disematkan dalam sebuah gedung di Leiden. Leiden adalah salah satu kota terpenting di provinsi Zuid Holland maupun di Belanda secara umum, meski kota ini tidak terlalu besar. Di kota ini ada Universitas Leiden (Universiteit Leiden) yang ternama. Universitas Leiden adalah universitas tertua di negeri Belanda dan sudah didirikan pada tahun 1575.
Banyak yang masih sulit memahami makna apa sebenarnya yang ingin disampaikan Chairil Anwar dalam tulisannya ini. Yah…, begitulah sifat karya sastra hebat, penulis akan semakin merasa hebat jika tulisannya tidak begitu mudah dipahami pembaca.
Tapi, tulisan Chairil Anwar ini dapat kita rasakan sebagai sebuah protes, sebuah kemarahan besar terhadap kaum penjajah, sampai beliau mengaku tidak sedikit pun gentar terhadap kaum penjajah, bahkan bila peluru menembus tubuhnya, beliau membawanya berlari. Charil juga menggambarkan sikap perlawanannya, meskipun sampai 1000 tahun lagi penjajah bercokol di negeri ini, dia akan terus melawan bersama anak bangsa yang menginginkan kemerdekaan itu.
Beliau juga menulis puisi “Diponegoro” dengan menggamit rangkaian kata indah, “Berselempang semangat yang tak bisa mati”. Bahkan, jelas dikatakannya, “Dimasa Pembangunan ini, Tuan Hidup Kembali. Dan Bara Kagum Menjadi Api”.
Lagi-lagi gejolak marah, berontak, kepada kaum colonial yang tak henti-hentinya ingin merebut kembali NKRI. Makanya, dalam bait-bait berikutnya, Chairil Anwar mempertegas sikapnya terhadap penjajah dan harapannya kepada pemuda untuk terus meningkatkan semangat nasionalisme seperti kobaran bara api.
“Tak gentar, walau musuh kita banyak, pedang dan keris siap menebas kepala siapa saja yang ingin meruntuhkan negeri Pancasila ini.
Begitulah keukehnya mereka, para pemuda pejuang yang memiliki nasionalisme tinggi kepada negeri burung Garuda ini.
Persisinya, sudah 77 tahun kita menikmati kemerdekaan itu. Kita harus mempertahankannya karena tidak menutup kemungkinan, kita akan kembali mengalami penjajahan asing yang multi dimensi dengan beragam metode dan cara untuk meruntuhkan persatuan dan kesatuan kita.
Tentu kita harus mengenang begitu sulitnya kemerdekaan itu kita raih, agar kita dapat memilki semangat nasionalisme yang kuat sebagaimana diungkap Chairil Anwar dalam puisi “Aku”. Beliau mengilustrasikan begitu pentingnya mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih para pejuang bangsa.
Begitu semangatnya, Chairil Anwar berharap memiliki waktu yang panjang, 1000 tahun lagi, untuk tetap bisa berjuang dan mempertahankan NKRI. Tak perlu sedu sedan, biar peluru menembus kulit, aku tetap berjuang dan berjuang.
Nah, di era digital saat itu, negeri kita sudah meraih prestasi yang luar biasa dan kita dikenal sebagai bangsa yang majemuk namun damai. Benar kata Chairil Anwar, dimasa pembangunan ini, semangat leluhur dan pejuang hidup kembali, hampir seisi negeri ini berbahagia memperingati hari kemerdekaan ke 77 ini dengan berbagai aktifitas.
Syukur Alhamdulillah, kini kita semuanya bebas, merdeka, menentukan nasib kita, membangun dan membangun negeri ini menjadi negeri Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur, atau negeri makmur dan sejahtera yang memiliki pemimpin yang mencintai rakyatnya. Inilah prestasi luar biasa negeri ini.
Semoga semangat nasionalis para legendaries bangsa ini dapat kita terus kita pedomani sebagai warisan termahal untuk mempertahankan NKRI, yang Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.
Penulis adalah Wartawan Harian Medan Pos/ Medan Pos Online
(Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Karya Tulis Persatuan Wartawan Indonesia Sumatera Utara (PWI Sumut) dalam rangkaian Peringatan HUT RI ke 77 dan Haul 100 Tahun Penyair Chairil Anwar).